25. Bidadari Jatuh

1.5K 293 34
                                    

Pagi itu, ketika Yaka dan Yasa tiba di rumah untuk sarapan, ada belitan tali rafia yang membentang di depan anak tangga, tujuannya supaya menghalangi mereka agar tidak bisa naik ke atas. Mami sepertinya sibuk di dapur jadi beliau tidak mendengar kedatangan mereka berdua. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi, namun Yaka ingat jika di akhir pekan Sasa tidak suka bangun pagi, jadi dia pikir Sasa tentu masih istirahat.

"Wah, apa nih? Festival kuliner Bango pindah ke rumah Mami?" seloroh Yasa saat melihat meja makan.

Yaka jadi penasaran lalu menyusul adiknya. Meja makan mereka yang besar, karena anggota keluarga yang juga tidak sedikit, kini dipenuhi oleh bermacam makanan tradisional. Mulai selat, sup timlo, gudeg, bubur tumpang, tengkleng, hingga kupat tahu. Yaka hampir yakin jika sebagian menu tersebut dibeli, sebab tidak mungkin maminya bisa menyiapkan semua makanan itu sepagi ini, meski papi membantu di dapur.

"Nggak boleh!" terdengar hardikan dari arah dapur. Mami berjalan tergopoh membawa panci panas berisi bubur yang akan dimakan dengan gudeg. "Buat kalian ada di dapur makanannya. Ini semua buat Mbak Sasa."

"Mami," rajuk Yasa. "Mami tega nggak ngebolehin kami cicip sedikit?"

"Tega, lah. Anak-anak laki-laki di rumah ini nggak ada yang berguna. Nggak ada yang kepikiran mau belikan maminya tas yang bagus kayak pemberian Mbak Sasa."

Yaka menelan ludah mendengarnya. Tuh, kan.  Di dalam lubuk hatinya, Yaka tahu Mami tidak bersungguh-sungguh dengan ucapan tersebut. Sebagaimana Mami yang selalu menolak dikasih uang tiap kali invoice Yaka cair, Mami pun sebenarnya tidak benar-benar galak hingga membenci anak beliau sendiri. Itu sebabnya meski senantiasa ditekan oleh Mami, anak-anak laki-laki beliau tidak tumbuh menjadi pembangkang di luar rumah.

"Ya udah, nanti aku belikan Mami tas LP kalo aku gaji—"

"Nggak, nggak, Mami nggak mau produk yang afiliasi sama Sirewel," tolak maminya tegas. "Punya Mbak Sasa itu cantik, buatan dalam negeri, ada lapisan batiknya. Bagus itu, ketimbang barang-barang lain dari luar."

"Mbak Sasa ngasih tas apa sih?" bisik Yasa ke Yaka.

"Produknya Glamela."

"Apa tuh?" Kepala Yasa dipukul dari belakang oleh Yaka. Tidak cukup keras sampai menyakiti si bungsu, namun bisa membuatnya terjungkal.

"Itu jenama lokal. Aku yang bikin app mereka buat penjualan daring."

"Ooh, jadi Mas Yaka kenal sama Mbak Sasa lewat kerjaan?"

Yaka mengangkat bahu. Mereka berdua mengikuti Mami ke dapur yang letaknya di samping bangunan utama rumah karena ada kompor tungku tradisional tempat Mami memasak menu-menu yang butuh waktu berjam-jam untuk matang dan tidak bisa dilakukan di kompor elpiji karena akan boros gas.

"Apa ini? Boleh dibuka, kan?" terdengar suara perempuan yang sangat dicintai Yaka dari arah tangga, membuatnya menoleh. Sasa berdiri di anak tangga paling bawah mencoba mengurai belitan tali rafia di sana.

"Oh, boleh! Itu tadi Mami yang pasang biar aku sama Yasa nggak naik ke atas." Yaka buru-buru menghampiri Sasa untuk membantunya sementara Yasa mematung di tempat.

Sabria tertawa lirih. Sepagi ini mendengar suara tawanya sudah cukup untuk membuat hari Yaka lebih baik. "Emangnya kalian apa? Kucing?"

"Tau tuh, si Mami. Ya kali, aku bakal nekat mau naik ke kamar walau udah tahu ada kamu di sana."

"Masya Allah, kayak bidadari jatuh," gumam Yasa saat melihat Sasa untuk pertama kali secara langsung, tidak hanya lewat foto belaka. Mami menggebuk punggungnya kuat-kuat hingga berbunyi nyaring dan Yasa sampai meringkuk kesakitan.

Jodoh di Tangan Bu RTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang