Hari ini, konsentrasi Sabria dalam bekerja jadi terganggu sebab ia beberapa kali mencuri pandang ke akun Whatsup-nya, di mana sebuah kontak baru telah ditambahkan di sana dengan foto profil sebagai berikut:
Tidak ada yang salah dengan foto tersebut. Kesalahan justru terletak pada ekspektasi Sabria yang selama ini mengasosiasikan nama 'Nayaka' dengan wibu jamet yang canggung dan sedikit bungkuk, sebab interaksi mereka lewat chat selama ini selalu mengisyaratkan seperti itu. Nayaka justru seseorang yang tinggi, gagah, meski masih tetap mengenakan kemeja kotak-kotak khas pakaian anak-anak STEM, dan terlihat seperti tipe pria ideal Sabria.
Sabria berusaha mengusir pikirannya dengan hal-hal lain, seperti fokus mengerjakan tugas-tugas dari Bu Amalia dan memikirkan bahan-bahan apa saja yang harus ia persiapkan untuk membuat kue besok hari. Ia tidak akan gentar hanya karena saling berkirim pesan dengan seorang pria tampan yang menyukai kue-kue buatannya.
"Sa, jadinya kapan kita rapat sama programmer itu?" pertanyaan Bu Amalia menyadarkan Sabria dari lamunannya.
"Hari Rabu, Bu. Ibu mau ketemu satu-satu dulu dari tiga kandidat yang Ibu kasih ke saya, atau sekaligus semuanya? Karena yang satu orang sudah konfirmasi, dua lainnya belum. Satu malah belum balas surel saya."
"Satu dulu aja, Sa," kata Bu Amel. "Kalau saya nggak sreg baru kamu panggil yang lain."
"Oke, Bu."
Untung saja, Sabria bisa menghabiskan sisa jam kerjanya di kantor dengan fokus, karena setelah jam istirahat makan siang, kesibukannya meningkat sebab harus menemani Bu Amalia kunjungan ke sana-kemari. Sepulang ke rumah pun, Sabria memeriksa persediaan bahan kuenya untuk disuguhkan pada Nayaka di kantor lusa. Setelah memeriksa kembali kebutuhan bahan dan resep, Sabria memutuskan untuk membuat cheesecake bagi Bu Amalia yang tidak suka cokelat dan kopi, opera cake untuk Nayaka, marble chiffon cake untuk teman-teman sekantornya, dan carrot cake untuk dibawa pulang oleh Nayaka kembali ke Solo.
Lewat pesan pribadi di Whatsup, Nayaka mengatakan jika keretanya berangkat dari Solo pukul 8 malam pada hari Selasa, dan tiba di Surabaya pukul 12 dini hari. Kemudian dia akan menginap di rumah Bu Aminah lalu berangkat ke kantor Glamela pada Rabu pagi. Sabria menawarinya tumpangan karena ia menyetir mobil sendiri, namun tadinya Nayaka tolak. Barulah ia mempertimbangkan kembali ajakan tersebut setelah Sabria membujuknya jika dia bisa mencicipi kue buatannya lebih dulu, selama perjalanan menuju kantor.
Hari Selasa sore, Sabria pulang kantor lebih cepat sebab Bu Amalia ada janji dengan dokter. Flu yang menyerang beliau sepulang dari Jepang masih melekat hingga mengganggu pekerjaan beliau, sehingga wanita pekerja keras itu beristirahat sejenak untuk memulihkan kesehatan.
Sabria menyibukkan diri di dapur dari sore hingga menjelang tengah malam. Ponselnya hening sejak terakhir kali ada pesan masuk dari Nayaka saat keretanya akan berangkat. Sudah beberapa bulan terlewati sejak ponselnya diramaikan oleh pesan singkat dari pria yang sedang dekat dengannya, sejak Sabria memutuskan hubungan dengan Ajisaka secara baik-baik. Sejak saat itu sudah tidak ada lagi teman pria yang mengiriminya pesan, meski sekadar berbasa-basi. Walau pesan dari Nayaka bisa terhitung sebagai 'dari kerjaan' sebab bisa saja mereka menjadi rekan kerja jika terjadi kerja sama antara dia dan Glamela, obrolan antara keduanya terlalu sederhana dan masih jauh dari topik yang mengarah ke gombalan, sehingga tidak bisa membuat Sabria menaruh harapan lebih.
Hari Rabu pagi, Sabria mempersiapkan kue-kue yang akan ia bawa untuk rapat pagi itu ke dalam kotak icebox, lalu memasukkan dalam mobil. Beberapa menit sebelumnya, ia sudah konfirmasi dengan Nayaka untuk menjemputnya di depan rumah Bu Aminah. Karena anak-anak Bu Aminah hanya tersisa Mbak Ayuma yang bungsu dan baru lulus kuliah, jadi rumah beliau cukup lengang untuk bisa menampung Nayaka semalam saja, sebelum ia kembali lagi ke Solo sore nanti. Pada saat ini, Bu Aminah tentu sudah mendengar jika kantor tempat Sabria kerja hendak menggunakan jasa Nayaka sebagai tim IT di perusahaan tersebut, dari keponakannya.
Sabria menghentikan mobil tepat di depan pagar rumah Bu Aminah. Seorang pria jangkung yang memakai kemeja kotak-kotak dengan ransel di punggung dan kacamata bertengger di pangkal hidung sudah menunggu di depan teras. Pada saat pandangan mereka pertama kali bertemu, jantung Sabria mencelus. Nayaka terlihat lebih tampan dari di foto, dan lebih tinggi. Tadinya ia mengira tingginya di atas 170-an senti saat dilihat dari foto. Rupanya lebih dari 175 senti. Mungkin mendekati 180-an? Sabria tidak begitu paham soal menghitung tinggi seseorang. Ia menurunkan kaca jendela untuk menyapanya.
"Halo," Sabria mengulurkan tangan. Karena rumah Bu Aminah berada di kanan jalan, jadi ia langsung berhadapan dengan Nayaka yang menyongsongnya dalam beberapa langkah lebar. "Akhirnya bisa ketemu," sapa Sabria seraya mengulas senyum. Nayaka menjabat tangannya tak kalah ramah. Telapak tangan tersebut lebar dan hangat, meski kapalan pada beberapa ruas jari, mungkin akibat terlalu fokus coding.
"Halo Mbak Sasa," balas pemilik suara bariton yang agak medok khas logat Jawa Tengah tersebut. Sabria mengisyaratkan agar Nayaka memutar ke kursi penumpang.
"Masuk yuk, Mas, nanti saya keburu telat."
"Oh, iya." Nayaka buru-buru mengitari mobil Sabria lalu membuka pintu penumpang shotgun. "Permisi ya, Mbak." Namun baru setengah kakinya yang masuk, kepala Nayaka sudah kejedot bagian kap mobil Sabria yang memang mungil khas city car.
"Aduh, maaf Mas, mobilnya pendek kayak saya," celetuk Sabria. Ia buru-buru memundurkan kursi shotgun agar sedikit lapang, untuk memudahkan Nayaka masuk ke dalam. Dengan susah payah dan kaki lumayan ditekuk meski sudah dimundurkan, Nayaka akhirnya berhasil masuk.
"Maaf ya Mbak, bukan salah mobilnya kok," gumam Nayaka lirih. "Kalau tahu Mbak Sasa bawa sedan, harusnya saya kasih tahu di awal buat bawa pick-up."
Sabria terkekeh geli mendengar celetukan tersebut. Ia menjulurkan tangan ke jok penumpang belakang untuk mengambil icebox-nya, lalu menawarkan pada Nayaka.
"Sebagai permintaan maaf, Mas Naya boleh makan kue sepuasnya deh, sampai bosan."
Nayaka membelalak melihat banyaknya makanan di sana. Sambil cengar-cengir, ia mengatakan. "Maaf Mbak Sasa, saya biasanya dipanggil Yaka sama orang-orang. Kalau dipanggil Naya, nanti saya berasa cantik kayak Mbak Sasa dan timbul keinginan pakai rok juga."
Sabria tertawa mendengar celetukan asbun tersebut. Melihat leluconnya berhasil membuat Sabria tertawa, Nayaka ikut terkekeh pelan.
"Kue yang bisa nyanyi yang mana, Mbak?" tanya Nayaka. Sabria mengerutkan kening saat mencoba mencerna pertanyaan tersebut.
"Oh, opera cake!" serunya. "Atasnya ada lapisan chocolate ganache, yang itu," tunjuk Sabria. Nayaka mencomot sepotong lalu memasukkan dalam mulut utuh-utuh tanpa digigit.
Sepanjang perjalanan, Sabria bolak-balik mengecek pewangi mobilnya yang seharusnya beraroma teh keraton, tetapi pagi ini entah mengapa tercium juga aroma kembang yang wangi dari sana. Mungkinkah ia berhalusinasi mencium bau bunga karena sudah lama sekali tidak merasa sebahagia ini saat berangkat kerja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Tangan Bu RT
RomanceAda sebuah pepatah mengatakan, 'the way to a man's heart is through his stomach'. Cara mengambil hati seorang pria adalah lewat makanan. Namun, Sasa tidak percaya dengan pernyataan tersebut. Sabria Maharani, perempuan lajang di usia kepala tiga, su...