SEASON II: ៍ོ̇ ⸙::12 ─ ࿆⃧፝ ྅

180 20 0
                                    

suasana di depan ruang operasi itu bisa dibilang lebih dingin dari malam. jam menunjukkan pukul 10, dan rin seharusnya sudah kembali ke asrama gedung. sae sudah memperingatkannya, tapi dia tak peduli.

dia berusaha untuk mengembalikan pikiran positifnya, tapi fakta kalau dia adalah penyebab kara mengalami kejadian itu, rasanya rin ingin mati saja.

kepalanya tertunduk, dan walaupun tubuhnya terlihat tenang, tidak bisa dielak kalau rin sebetulnya sangat ketakutan.

tapi memang harusnya begitu kan? kara akan kecelakaan, dan mengorbankan nyawanya sendiri. tapi kali ini, tidak ada yang membuat kara harus mengorbankan sesuatu. jadi harusnya kara akan baik-baik saja.

"kara nggak bakal pergi, rin. dia gak bakal mau kalah dari kematiaannya sendiri," sae berujar tenang. walaupun jika posisinya ditukar, dia akan sama paniknya.

"gue mau berh—,"

"lo harus tetep ikut seleksinya. gue gak bakal biarin lo mundur di sini. lo udah sejauh ini," kata sae, dia sudah tahu dengan benar isi pikiran rin sekarang.

sewaktu rin ingin buka suara, dokter si teman sae yang menangani kara, ke luar dan menemui mereka berdua.

"gimana?" sae bertanya duluan.

".. selamat sih, tapi.."

"tapi apa?" hawa membunuh rin muncul di saat-saat tidak tepat.

"jangan dipelototin, rin, ntar dia salah diagnosa lagi," kata sae.

"i-iya, nyawanya selamat. tapi dari pinggang ke bawah, dia lumpuh sementara. sementara doang. nggak sampe setahun, apalagi kara itu kan anaknya gak bisa diem, pasti dia bisa pulih lebih cepet dari perkiraan, kita tunggu aja," si dokter nyengir.

"sekarang dia gimana?" sae bertanya lagi untuk mewakili rin, saat melihat ekspresi adiknya yang semakin cemas.

"abis dipindahin, baru boleh dijenguk."

"oke, makasih dah. tadinya kalo lo gak berhasil nyelametin kara, mau gue laporin lo ke polisi," sae menepuk bahu si dokter ala-ala pertemanan cowok.

"gue cuma dokter, sae. bukan Tuhan."

"lah.. siapa juga yang mau nyembah lo?" sae mengerutkan keningnya, kaget.

rin jadi yang pertama masuk ke ruangan kara setelah dia dipindahkan ke ruang rawat inap. rin hanya berdiam diri di sana. tidak mau memikirkan hal lain. yang dia mau lakukan sekarang cuma melihat kara terbangun dengan wajah emosinya lagi.

"kar.. maaf.." rin menjatuhkan kepalanya ke pinggir ranjang, bersinggungan dengan tubuh kara.

"gara-gara gue, lo jadi begini.. harusnya gue gak biarin lo jalan sendiri sekuat apapun kaki lo tadi, harusnya gue anterin lo sampe rumah.." rin terdiam dengan sisa suaranya yang meracau ini-itu, menyesali perbuatannya.

dia tidak bisa membayangkan rin 29 tahun itu harus menghadapi kejadian ini. dia masih sedikit beruntung karena kara masih hidup, tapi bagaimana dengan dia yang di masa depan saat tahu kara meninggal demi membiarkan anak mereka lahir.

".. woooooy.. rin.."

rin mengangkat kepalanya. "lo masih bisa ngomong, kar?"

kalau kara bisa bergerak, dia akan meninju wajah rin dengan ekspresi kagetnya itu. jelas dia masih bisa bicara!! dia kan cuma lumpuh sebentar, bukan bisu!!

"masih," suara kara sedikit samar, tapi masih bisa didengar. "gue abis mimpi.. mimpiin akira.."

"mimpiin apa?"

"gue mimpi akira.. dateng ke sini.. naik babi hutan," kara malah menangis. "kenapa.. harus.. babi hutan, rin..?"

"mungkin akira suka," rin menjawab dengan penuh kelegaan di setiap katanya.

[✔] [1] pluviophile ; itoshi rinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang