Ibu yang saya kenal seperti bukan lagi Ibu yang saya kenal.
Tubuhnya kian ringkih di setiap minggu kunjungan saya. Tatapannya kian kosong dan mati. Bibir tipisnya yang kering pucat hanya terbuka ketika waktunya makan dan minum obat. Suaranya yang dulu selalu menyapa setiap dinding rumah, tidak pernah lagi terdengar. Bahkan saya takut suatu saat telinga saya akan melupakan suaranya yang nyaring dan menusuk ketika sedang mengomel. Kulitnya yang seharusnya masih cukup kencang untuk wanita seusianya, kini punya kerutan di mana-mana. Tulang-tulang di tubuhnya tampak menonjol, bukan karena tubuhnya yang langsing dan sehat berkat rajin berolahraga, tapi karena dia tidak pernah bernafsu lagi untuk menyicipi makanan. Kantung matanya hitam tebal seperti seseorang yang tidak tidur berbulan-bulan. Rambutnya menipis, rontok setiap kali disisir, begitu kata suster yang merawatnya.
Yang bisa dia lakukan hanya terduduk lesu di atas kursi roda. Seperti mati meski masih bernyawa. Bukan karena tubuhnya tak mampu berdiri atau berjalan, tapi karena dia tidak punya gairah lagi untuk melakukannya. Kalau saja hidup bisa dijalani hanya dengan diam dan bernapas, maka dia telah melakukannya tepat satu tahun lamanya.
"Masih belum mau bicara ya, Mas?"
Saya menoleh ketika Suster Mirna—atau yang lebih akrab disapa Sus Na—menempati posisi kosong di sebelah saya. Wanita yang baru menginjak usia kepala tiga ini adalah suster yang ditugaskan merawat Ibu di panti rehabilitasi ini. Ramah dan sungguh perhatian. Saya mengangguk singkat sebagai jawaban.
Sus Na menghela napas prihatin. "Tempo hari Ibu sempat mengamuk, Mas."
Saya seketika memberi atensi lebih, terkejut mengingat sudah cukup lama saya tidak mendapat laporan semacam ini. Keadaan emosional Ibu cenderung lebih stabil dibanding beberapa bulan pertama dia tinggal di panti ini. Stabil namun tetap sulit diajak berkomunikasi.
Sus Na mengangguk, meyakinkan saya akan kebenaran informasi yang baru saja saya dengar.
"Ada pasien wanita yang baru masuk seminggu lalu, depresi karena batal menikah. Dia cenderung berhalusinasi, membangga-banggakan suami dan anak imajinatifnya ke setiap orang yang dia temui. Kebetulan hari itu dia papasan sama ibu kamu, dan ya terjadilah."
Saya mengangguk, tidak perlu mendengarnya secara detail. Satu tahun, saya lebih dari hafal apa yang bisa menghancurkan kestabilan emosi Ibu.
Satu tahun lalu, tepatnya satu bulan sebelum Ibu berakhir di panti rehabilitasi ini, telepon di rumah kami berdering nyaring. Sore hari yang yang seharusnya biasa, tiba-tiba berubah menjadi luar biasa. Sungguh luar biasa. Bapak dan Ibu sedang menikmati kopi hitam dan semangkuk ubi rebus di teras, dan saya baru saja sampai di halaman rumah selepas kuliah. Bapak mengalah, masuk ke rumah untuk mengangkat telepon.
Sampai di teras, saya menyalimi tangan Ibu kemudian mencomot satu ubi rebus di mangkuk. Mata kuliah terakhir sore itu cukup menguras energi, saya harus menahan lapar selama 3 jam. Namun, sebelum ubi rebus itu berhasil masuk ke mulut saya, suara sesuatu yang terjatuh lebih dulu mencuri perhatian saya dan Ibu. Kami kompak menoleh ke dalam rumah. Bapak sudah terkapar di lantai, gagang telepon menjuntai nyaris menyentuh lantai.
Ibu bergegas panik menghampiri Bapak, menggoyang-goyangkan tubuhnya, menepuk-nepuk pipi sang suami tercinta sambil tak henti-henti menyerukan kalimat, "Bangun, Mas! Mas!" Suaranya yang semula masih terdengar optimis, perlahan bergetar ketika tak kunjung ada respon apa pun dari Bapak. Saya berjongkok kaku di sisi lain tubuh pria tinggi besar itu, mencengkeram kuat pergelangan tangannya yang biasanya terasa kokoh. Saat itu juga saya menyadari, bahwa sore itu, Bapak telah tiada.
Ibu mulai menangis histeris. Lebih kencang dari kicau burung yang ramai berterbangan di atap-atap gedung kota ketika langit mulai menjingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...