Hawa dingin menggerogoti tubuh bagian atas saya yang hanya dibalut kaos tipis. Angin menyelinap melalui celah kacamata, membuat mata perih, nyaris menangis. Saya sedikit mengendurkan gas, membuat laju vespa kuning ini agak melambat. Meski begitu, suara khasnya yang cempreng tetap menggema di sepanjang jalanan yang sepi.
Saya melirik ke bawah, ke arah sepasang tangan terbungkus jaket yang sedang mencengkeram sisi kanan dan kiri pinggang saya. Lalu beralih melirik spion, menyaksikan wajah penghuni jok belakang yang tampak menyipitkan mata demi bertahan dari gempuran angin. Berdasarkan ingatan saya, ini kali pertama saya berkendara pukul tiga atau empat pagi entahlah. Dan baru kali ini juga ada yang menghuni jok belakang selain Ibu. Waktu SMA, saya adalah tukang ojek pribadi Ibu, mesti siaga satu setiap kali dia membutuhkan tumpangan untuk mengantar pesanan katering.
"Kenapa?"
Saya terhenyak, refleks menarik lirikan dari kaca spion.
"Saya lihat kok kamu dari tadi lirik-lirik lewat spion."
"Nggak usah ge-er." Tidak bisa dipungkiri, saya gelagapan, mendadak deham-dehem melonggarkan tenggorokan. "Kos kamu masih jauh?"
"Lumayan."
Pembicaraan selesai.
Terhitung dari rumah saya, sekarang kami telah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh menit, dan kabar buruknya, dia baru saja menjawab pertanyaan saya dengan kata "lumayan" yang artinya, jarak kami dengan tujuan belum mencapai level "sudah dekat". Sesaat saya dibuat bertanya-tanya, kenapa dia justru sering berkeliaran di daerah tempat tinggal saya kalau jarak tempat tinggalnya sejauh ini? Terlebih, orang seperti apa sebenarnya gadis ini? Apa yang dia lakukan di kota ini?
"Ternyata enak juga ya motoran jam segini."
Lamunan saya terputus, terpaksa kembali melirik spion.
"Sepi, tenang, nggak ada kendaraan lain atau aktivitas orang-orang. Berasa punya kota pribadi."
Saya masih belum berniat menanggapi, barangkali dia memang hanya sedang berdialog dengan dirinya sendiri. Sampai kemudian, tepukkan demi tepukkan tiba-tiba memborbardir bahu kanan saya.
"Bian, lampu merah, stop!" serunya heboh.
Saya sontak mengernyit, mengarahkan pandangan sepenuhnya ke depan. "Mana ada lampu merah jam segini," kata saya. "Kamu nggak buta warna kan? Itu jelas-jelas yang nyala lampu kuning."
"Ya udah sih, stop aja dulu." Dia ngeyel. Dan akan terus berisik kalau saya tidak menuruti perkataannya. Maka saya terpaksa menarik rem, vespa berhenti tepat di belakang garis putih.
Detik setelahnya, dia bergegas turun. Belum sempat saya bertanya apa yang akan dia lakukan, dia telah berlari menuju tengah perempatan jalan. Saya nyaris memekik karena aksinya yang di luar nalar itu. Dia berlarian sambil berseru senang, kemudian berputar-putar, melompat ke sana dan sini seolah sedang berada di hamparan kebun bunga yang indah. Jaket saya yang kebesaran di tubuhnya seharusnya membuat dia terlihat lucu, tapi ini tidak lucu sama sekali. Gadis ini benar-benar gila.
Sambil mengerang saya menurunkan standar motor, melompat turun kemudian menghampirinya ke tengah perempatan jalan. Dengan cepat saya menangkap satu tangannya, hendak membawa dia kembali ke vespa yang terparkir aneh di belakang zebra cross. Namun, dia malah menyalahartikan kedatangan saya. Dia justru semakin bersemangat, menarik saya agar ikut berlarian dan menari—seperti orang gila—bersamanya. Tentu saja saya tidak akan mengabulkan yang satu itu. Di sini, yang gila cuma dia, catet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...