Sejujurnya, saya bukan orang yang menyebalkan. Maksud saya, saya tidak punya sifat alami seperti itu. Saya pernah bilang bukan, kalau saya itu tipikal orang yang cenderung menghindar dari interaksi sosial. Tempat favorit saya adalah kamar dan pojok perpustakaan. Saya tidak akan banyak bicara ketika bersama orang lain, hanya telinga yang aktif mendengar—meski tidak menutup kemungkinan di banyak kesempatan saya pun secara sengaja menonaktifkannya tanpa orang lain menyadarinya.
Saya akan sedikit banyak bicara hanya ketika bersama keluarga. Dan lebih banyak bicara ketika bersama Bang Ragi. Dia selalu tahu cara untuk memancing sifat-sifat yang biasanya hanya terpendam di dalam diri saya. Bersama Bang Ragi saya bisa menjelma menjadi orang yang banyak tertawa, bicara, jahil, bahkan terkadang cukup menyebalkan. Kenapa saya repot-repot menjelaskan soal ini? Tentu saja karena saya ingin meluruskan bahwa ... saya bukan orang yang menyebalkan. Saya tidak bersikap menyebalkan pada sembarang orang.
Tapi kata Rumi saya menyebalkan?
Tidak. Jelas tidak. Itu hanya diri saya yang biasa-biasa saja. Itu karena dianya saja yang terlalu sensitif! Sejauh ini, saya tidak pernah bisa menunjukkan banyak sisi dari diri saya kepada siapa pun sebagaimana saya menunjukkannya kepada Bang Ragi. Sikap yang saya tunjukkan di hadapan gadis itu tidak berbeda dari apa yang saya tunjukkan kepada orang asing lain atau rekan kerja saya, Ben, sekali pun.
"Gue nggak ngerti kenapa cewek-cewek tuh doyan banget marah tanpa ngasih tau kenapa dia marah. Trus minta kita, para cowok, ngerti dan nyari tau sendiri apa penyebab mereka marah. Udah gila kali. Emangnya kita dukun?"
Ya kalau dia tetap ngotot melabeli saya sebagai orang yang menyebalkan, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, serius deh, apa saya semenyebalkan itu pada Rumi? Saya akui, di beberapa kesempatan dia memang mencoba bersikap lebih ramah dan baik—setidaknya berbeda dari sosoknya yang saya temui sore kemarin: ketus, galak, tak segan marah bahkan kepada orang yang belum dia kenal.
"Kalau ditanya bukannya ngasih tau, malah nuduh kita nggak peka lah, nggak perhatian lah, apa lah. Ya kita kan juga bukannya nggak usaha, tapi emang merekanya aja yang suka sengaja bikin cowok susah. Mereka yang sebel, mereka yang kesel, mereka yang marah, kitanya yang repot mikir dan nebak-nebak. Itu lagi pacaran apa main TTS gue tanya, hah? Sekalian aja kita ikut Family 100, lebih ada faedahnya gue capek mikir, dapet hadiah!"
Meski baru dua hari mengenalnya, saya rasa, secara nyata dia termasuk orang yang cukup ekspresif dan blak-blakan. Sekali lagi, sangat kontras dengan impresi pertama yang dia tunjukkan ketika menjadi pelanggan tetap kafe Pojok Kota. Siapa pun pasti berpikir dia adalah gadis pendiam, tenang, atau lebih parah: anti sosial. Saya bahkan tidak tahu harus menyebut diri saya beruntung atau buntung ketika bisa menyaksikan sisi lain dari Rumi yang mungkin tidak bisa dilihat oleh banyak orang. Dan ya, kalau pun saya terlihat lebih lepas ketika berhadapan dengannya—bersikap menyebalkan seperti yang dia katakan contohnya—bisa jadi karena dipengaruhi oleh dia yang rupanya adalah sosok yang cukup terbuka.
Saya refleks mendongak ketika sebelah earphone yang menyumpal telinga saya tiba-tiba seperti dicabut secara paksa.
"Sorry banget mengganggu sesi damai lo, tapi hari ini gue butuh kuping lo, Yan," kata Ben dengan wajah kusut. "Ini semata-mata demi menjaga kewarasan gue, serius."
Lima detik berpikir, saya akhirnya melepaskan satu earphone yang masih menyumpal sebelah telinga. Laki-laki ini sepertinya memang tidak dalam suasana hati yang baik hari ini. Wajahnya tertekuk sejak muncul dari balik pintu kafe. Tidak ada raut "Ben si pemilik gelar karyawan paling ramah 6 bulan berturut-turut". Tapi ya ... saya rasa ini bukan keadaan darurat. Dalam sebulan, kondisi anomali seperti ini hanya terjadi satu atau dua kali bahkan tidak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...