Wanita yang saya yakini adalah seorang dokter hewan pemilik klinik ini, muncul dari balik pintu dengan tergesa. Saya bersyukur dia segera paham hanya dengan kalimat pendek "keadaan darurat" yang saya teriakkan. Saya tidak tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi setelah itu. Tapi tepat setelah lampu klinik menyala dan pintu dibuka oleh wanita yang bahkan telah mengenakan piyama yang berarti tadinya dia sedang bersiap tidur, Rubi raib dari tangan saya. Wanita itu bergegas membawanya ke sebuah meja di sisi ruangan, membaringkan Rubi dengan posisi menyamping ke kanan, mulai melakukan pemeriksaan yang entahlah apa saja prosesnya.
Saya menunggu di dekat pintu, secara natural membangun batasan demi menyelamatkan diri saya sendiri dari perasaan cemas dan takut yang berlebihan.
"Ini kucingnya keracunan, Mas," kata wanita itu di sela aksinya menangani Rubi. "Mas tau tadi kucingnya sempet makan apa?"
Saya meremas-remas jemari gelisah, mencoba mengingat-ingat meski tak ada satu pun ingatan yang terlintas perihal racun apa yang telah masuk ke dalam mulut kucing itu.
"Saya nggak tau, Dok," jawab saya akhirnya, tidak membantu, rancu, tolol.
Saya mengusap kening yang tiba-tiba berkeringat sampai kemudian mata saya tidak sengaja mendapati keberadaan sebuah telepon di meja tidak jauh dari posisi saya berdiri. Saya mendekat, meraih gagangnya—bahkan tanpa repot-repot meminta izin untuk menggunakannya. Jari saya mulai menekan sejumlah nomor berdasarkan sekelebat-sekelebat ingatan yang masih mampu dijangkau oleh otak saya.
Suara sambungan telepon terdengar sebanyak tiga kali sebelum akhirnya suara seseorang menggantikannya.
"Rumi, ini saya, Bian."
"Kamu nelpon pakai telepon rumah?" Saya menghubungi nomor yang tepat, itu jelas sekali suaranya.
"Bukan itu yang penting sekarang."
"...."
Saya menelan ludah, tidak tahu harus bagaimana mengatakannya.
"Saya punya kabar buruk, ta-tapi kamu jangan panik, saya yakin nggak bakal seburuk itu."
"Kamu ngomong apa sih, Bi? Sekarang gimana saya nggak mendadak panik kalau kamu aja kedengeran panik banget? Coba tarik napas ..."
Entah mengapa saya menurutin perkataannya, menarik napas dalam.
"... buang perlahan."
Saya menghembuskannya perlahan, sesuai instruksinya.
"Ulangi tiga kali, kalau udah ngerasa agak tenang baru ngomong."
Lagi-lagi saya menurut. Dan tepat di hembusan napas ketiga, kabar itu akhirnya sampai di telinganya. Sesuai dugaan saya, dia akan lebih panik dari saya.
"Sekarang saya lagi di klinik, Rubi lagi ditanganin dokter, kamu ja—"
Sambungan telepon diputus sepihak. Argh, saya mengerang pelan, meletakkan gagang telepon, mengusap wajah frustasi. Entah apa yang akan gadis itu lakukan. Tapi yang membuat saya cukup terkejut, tidak lama setelah itu, sosoknya tiba-tiba muncul di pintu klinik.
"Kamu tau darimana saya di sini?" Bahkan bagaimana bisa dengan jarak kosnya yang jauh itu dia bisa sampai secepat ini?
"Berisik, Rubi mana?" jawabnya sangat tidak bersahabat. Tapi saya bisa memakluminya. Saya bisa melihat di matanya sekarang hanya ada rasa cemas. Saya pun menunjuk lewat sorotan mata. Dalam sekejap gadis itu hilang dari hadapan saya dan sudah berada di sebelah si dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...