Sejak taman kanak-kanak hingga SMP, saya selalu berada di sekolah yang sama dengan Bang Ragi. Perbedaan usia kami hanya terpaut satu tahun. Perawakan kami tidak jauh berbeda, sama-sama menuruni tubuh jangkung Bapak—saya hanya satu-dua senti lebih tinggi. Namun Bang Ragi memiliki kulit yang lebih gelap karena aktivitasnya yang dominan berada di luar ruangan—di lapangan sepak bola lebih tepatnya—dan otot-otot serta kemampuan fisik yang jauh lebih mumpuni. Dalam hal itu, kami bagaikan tiang besi dan galah kayu. Seperti profesi yang ditempuhnya, dia terkenal sangat atletis sementara saya sebaliknya. Tidak ada otot yang menonjol di tubuh saya, hanya sekumpulan lemak bayi yang masih betah menempel hingga saya beranjak dewasa. Dan saya selalu tampak konyol di pelajaran olahraga.
Kemudian rambut kami. Bang Ragi memiliki rambut lurus tebal dan hitam legam persis seperti Bapak. Sementara saya mewarisi rambut ikal kecokelatan Ibu. Sejujurnya apa pun bentuknya, ciri fisik siapa yang dominan membentuk kami, saya tidak terlalu peduli. Keduanya sama indahnya, baik Bapak maupun Ibu, keduanya adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna di mata kami para putranya bahkan ketika kata sempurna itu tidak ada.
Lalu kepribadian kami, sepertinya adalah bagian yang paling jauh perbedaannya. Bang Ragi cenderung senang menjadi pusat perhatian—atau mungkin secara alami memang akan selalu menjadi pusat perhatian entah di mana pun kakinya berpijak. Dia selayaknya berlian yang akan tetap menjadi berlian meski berada di kubangan berisi kotoran sapi sekali pun. Dia seperti terlahir dengan aura yang mampu membuat orang lain terpikat tanpa perlu berusaha membuat mereka terpikat. Ketika dia berjalan di koridor misalnya, di antara gerombolan murid yang juga sibuk berlalu-lalang di sana, dia seolah punya lampu sorot pribadi sehingga orang lain akan otomatis melirik atau bahkan menatapnya secara terang-terangan.
Bang Ragi terkenal ramah, menyenangkan, dan sangat aktif. Semua guru menyukainya. Dan mungkin hampir semua murid perempuan pernah mengaguminya, entah secara terbuka atau diam-diam. Temannya ada di mana-mana. Satpam sekolah, tukang bersih-bersih, ibu-ibu kantin, selalu tersenyum sumringah ketika bertemu dengannya. Bang Ragi adalah manusia paling bersinar yang pernah saya temui. Adalah manusia yang paling murni di mata saya. Adalah orang pertama yang membuktikan pada saya bahwa orang seperti dia memang ada di dunia. Bahkan, apakah saya pantas menyandang status sebagai adiknya?
Saya tidak nyaman menjadi sorotan. Di sekolah, pojok perpustakaan adalah tempat favorit saya. Dan di kelas, bangku paling belakang adalah harga mati bagi saya. Ketika Bang Ragi tenggelam dalam keramaian sekolah, maka saya hanyut dalam keheningan ruang perpustakaan yang remang dan berdebu, beralaskan tumpukan tangan memejamkan mata, hanya lagu-lagu yang silih berganti memenuhi telinga yang tersumpal earphone. Kalau saja saya tidak memiliki status sebagai 'adik Ragi', mungkin tidak ada satu pun warga sekolah yang akan tahu ada murid bernama Biantara Pranaja Kuswan—kecuali teman sekelas, guru-guru ketika sedang mengabsen, dan mungkin staf administrasi yang punya daya ingat luar biasa.
Saya lebih suka menjadi asing bagi orang-orang. Yang ketika namanya disebut akan membuat setiap kening berkerut: Benarkah ada seseorang bernama demikian? Di mana? Di mana dia? Sejak kapan dia ada di sini?
Saya tidak suka mencolok. Karena itu saya cenderung jauh berhati-hati dalam segala hal. Karena itu di sekolah saya tidak pernah berusaha menjadi yang paling pintar atau yang paling bodoh, yang paling teladan atau yang paling berandal. Saya selalu berada di tengah-tengah, di sisi yang cenderung samar terlihat. Dan kebiasaan itu, terus melekat di diri saya hingga kini, ketika saya harus menapakkan kaki di dunia orang dewasa.
Selama bekerja di kafe maupun minimarket, saya sebisa mungkin tidak membuat kesalahan yang akan membuat atasan atau karyawan lain terlalu menyadari keberadaan saya. Saya sebisa mungkin menjadi karyawan yang biasa-biasa saja. Datang, bekerja, pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...