4. Di Bawah Hujan Seorang Gadis Bertanduk

11 1 0
                                    

Bulan Februari, tepat di malam menjelang hari ulang tahunnya, Bang Ragi memberi kejutan kepada kami dengan kepulangannya yang mendadak. Ibu dan Bapak memeluk putra sulung kebanggaan mereka dengan penuh kerinduan.

Hampir empat tahun Bang Ragi meninggalkan rumah, berjuang keras di Jakarta demi mimpinya menjadi pemain sepak bola profesional, demi memakai jersey berlambang garuda di dada. Tepatnya ketika usianya baru menginjak 16 tahun. Talenta yang telah dia pupuk sejak kecil di salah satu akademi sepak bola di kota kami, akhirnya tercium oleh seorang talent scout dari klub besar di Jakarta. Bang Ragi diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan sepak bola di akademi mereka. Tidak perlu berpikir sedetik pun, Bang Ragi segera menerima tawaran itu.

Bang Ragi terbang ke Jakarta berbekal dukungan penuh Bapak dan Ibu. Melanjutkan pendidikan formal sekaligus pendidikan sepak bola di kota metropolitan yang terkenal keras itu. Perjalanannya terasa begitu mulus dan menjanjikan seolah seluruh semesta ada di pihaknya. Hanya butuh waktu kurang dari satu tahun, dia berhasil mendapatkan posisi debut di tim junior. Gairah dan kepercayaan dirinya semakin membara. Berhasil masuk ke tim junior, baginya, adalah satu langkah penting untuk membuka pintu kesempatan lain yang lebih besar.

Penampilannya di setiap pertandingan selalu intens dan ambisius—begitu yang selalu kami dengar dari setiap kabar yang datang melalui sambungan telepon. Dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya, perannya dalam tim kian terasa penting. Dia selalu membanggakan julukan "calon striker masa depan Indonesia" yang sering dia dapatkan dari kawan-kawan klub hingga jajaran staf pelatih. Lalu esoknya, pujian itu akan segera sampai ke telinga setiap warga sekolah tempat Bapak mengajar. Seketika Bapak menjadi guru olahraga paling beken di SMA Bakti Mulia—walaupun saya yakin sebagian besar hanya akan menganggapnya sebagai orang tua yang doyan membual dan mimpi di siang bolong.

Menjelang usia 19 tahun, Bang Ragi akhirnya berhasil debut di tim utama, berkesempatan bermain di liga kasta tertinggi di negeri ini meski harus melalui bangku cadangan, meski harus bersaing dengan para pemain profesional yang telah punya nama besar dan segudang pengalaman. Tapi tujuannya selalu jelas dan tegas. Tim Nasional. Maka seperti Bang Ragi yang saya kenal, dia tak pernah gentar.

Di malam penuh kejutan itu, setelah meniup lilin untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-20 tepat di detik pergantian hari, juga setelah Bapak dan Ibu tidak bosan-bosannya memeluk dan menciumi putra tercinta mereka, saya dan Bang Ragi menghabiskan waktu di teras rumah hingga menjelang subuh.

"Abang didepak dari klub, makanya tiba-tiba pulang?"

"Enak aja!" Dia menoyor kepala saya. "Kamu nggak nonton pertandingan minggu lalu? Abang berhasil nyetak gol perdana di tim senior, ya kali didepak. Yang ada kamu sini yang Abang keplak."

Saya gesit menghindari tangannya yang hendak menampar pipi saya.

Dia terkekeh, menarik kembali tangannya. "Lagi ada jeda internasional, jadi liga libur. Dan berhubung waktunya pas, ya udah Abang sempetin pulang, kangen, udah lama nggak ketemu Ibu, Bapak, kamu," jelasnya. Saya hanya diam sampai dia kembali bersuara. "Tapi setelah pulang jadi rada nyesel sih."

Alis saya otomatis mengernyit.

"Nyesel soalnya jadi harus ngeliat si culun ini berubah jadi keren begini." Dia usil menurunkan kacamata saya. "Pasti di kampus banyak cewek-cewek hits yang naksir, kan?" Dia menyenggol-nyenggol bahu saya dengan tatapan menggoda hingga membuat saya terpaksa mendorong tubuhnya. Dia terpingkal-pingkal setelah itu.

"Tapi serius, gimana rasanya jadi anak kuliahan?"

"Biasa aja."

Dia melenguh panjang, membawa kedua tangannya ke belakang sebagai penopang tubuh. "Kirain makin gede bakal ada perubahan, ternyata sama aja. Dataaar aja kayak jalan tol. Kamu itu sebenernya niat hidup atau enggak sih, Yan?"

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang