Saya sampai di rumah hampir tengah hari. Pemandangan yang terhampar di halaman rumah, tepatnya di bawah pohon tabebuya yang teduh, berhasil membuat pergerakan tangan saya yang hendak membuka pintu pagar terhenti. Rumi terlihat sedang tiduran di atas rumput, di antara guguran bunga tabebuya, sementara kucingnya berada di atas perutnya. Gadis itu tertawa-tawa mempermainkan wajah si kucing yang tampak pasrah-pasrah saja.
Dia segera menoleh ketika pagar yang akhirnya saya dorong menimbulkan suara.
"Hai!" Sapanya ceria, bangkit. "Habis dari mana?"
Saya tidak merasa harus membalas sapaan atau menjawab pertanyaannya, beranjak kembali menaiki vespa, menyalakan mesin kemudian mengendarainya masuk, melewati halaman dan berhenti di lorong samping.
"Persona kamu emang jutek dan sombong gini ya?" Kini dia sudah berdiri di teras, seolah memang sengaja menunggu saya beres memarkirkan si vespa. Si kucing tampak masih betah bermain di halaman.
"Kalau kamu ngeliatnya begitu, berarti itu opinimu tentang saya, itu hakmu dan saya nggak bisa ikut campur," kata saya sembari membuka pintu.
"Ya deh si paling peduli hak orang lain," nyinyirnya sambil membuntuti saya memasuki rumah, menuju dapur. "Ngomong-ngomong kamu habis dari mana? Oh ya, saya barusan udah bawa Rubi ke dokter, buat cek luka di kakinya, cek kesehatan, sama sekalian divaksin," bebernya bersemangat.
Terlepas dari informasi yang baru saja dia sampaikan tidak terlalu berguna untuk saya, nama yang turut dia sebutkan dalam kalimatnya, berhasil membuat saya menggumamkannya ulang di dalam hati. Rubi. Saya batal membuka kulkas demi menatap surat perjanjian yang tertempel di pintunya. Tentu saja Rumi pelakunya, menggunakan hiasan magnet bergambar boneka ondel-ondel—yang entah dia dapat dari mana—sebagai perekat. "Ini tempat paling strategis kalau-kalau kamu mendadak pikun, atau suatu saat berniat ngusir kucing saya tanpa dilandasi hati nurani sedikit pun. Nggak mungkin nggak kelihatan kecuali kalau di mata kamu lagi ada kutil segede kacang sukro," cerocosnya pagi tadi.
Terdapat tanda tangan saya dan dia di surat itu yang dilengkapi cap jempol kami berdua—atau bertiga? Dan perihal asal-usul munculnya nama 'Rubi' itu ....
~
Nama : Biantara Pranaja Kuswan
Usia : 20 tahun
Pekerjaan :Terserah, yang jelas bukan pengangguran
Tepat setelah saya selesai menuliskan itu di dua lembar surat perjanjian kami, Rumi tampak terdiam, memandangi tulisan tangan saya dengan tatapan yang entah apa maksudnya.
"Kenapa?" tanya saya setelah mulai merasa terganggu.
Dia menggeleng. Wajahnya agak pucat atau mata saya yang salah melihat. "Kamu punya nama belakang yang sama kayak seseorang yang saya kenal. Tiba-tiba keinget aja."
"Ada banyak orang pake nama Kuswan di negara ini, bukan hal aneh."
"Ya, kamu bener," ujarnya setelah lima detik merenung.
Dia lantas meraih kedua surat perjanjian kemudian mulai menandatanganinya. Setelah itu, giliran saya yang melakukannya. Dan begitulah, tahu-tahu kami telah resmi bersepakat.
"Tunggu, jangan bangun dulu, urusan kita belum selesai." Dia buru-buru menahan tangan saya ketika menyadari saya hendak bangkit.
"Saya udah tanda tangan, apa lagi?"
Dia berdecak sambil sibuk mengorek-ngorek isi tasnya, entah mencari apa. "Bisa nggak sih kamu itu bersikap kooperatif sekaliii aja?"
"Saya udah nurutin kamu buat tanda tangan surat perjanjian, kurang kooperatif apa lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...