3. Kucing Liar dan Ibu Perinya

19 1 0
                                    

Normalnya memang tidak akan ada sesuatu yang istimewa dari setiap hari yang saya jalani. Termasuk hari Senin yang terasa amat panjang ini. Setelah menyelesaikan shift di kafe pukul empat sore, saya akan melanjutkan shift di minimarket. Nyaris setiap hari, sembilan puluh persen hidup saya ada di tempat kerja dan jalanan. Pada awalnya, rutinitas monoton ini cukup menyesakkan, tapi apa yang bisa saya lakukan selain menjalaninya? Inilah kehidupan yang mau tak mau mesti saya pijak dan terima.

Demi Ibu. Adalah satu-satunya motivasi yang bisa saya pikirkan.

Saya menghentikan laju sepeda di depan bengkel kecil. Roda depan terasa agak kempes dan mesti diisi angin. Seorang pemuda yang saya yakini masih berusia belasan awal segera menghampiri saya, menanyakan masalah apa yang mesti dia atasi. Setelah itu, dengan gesit dia mengambil alat pompa, mulai mengisi ban depan sepeda saya dengan angin. Saya menunggu di kursi plastik yang beberapa saat lalu dia ambilkan untuk saya. Dan di tengah kegiatan menunggu itu mata saya lagi-lagi menemukan makanan kucing di pojok trotoar. Seekor kucing hitam kurus terpantau sedang menyantapnya dengan lahap.

Alis saya mengernyit. Semakin lama, pemandangan seperti ini semakin membuat saya penasaran. Bertepatan dengan itu, pemuda bengkel menghampiri saya, ban yang kempes telah selesai dia kencangkan kembali. Saya merogoh kantung celana, menyerahkan selembar uang dua ribu rupiah.

Setelah menerima bayaran, pemuda itu hendak masuk ke dalam, namun saya dengan cepat menahan langkahnya. Selama beberapa saat dia mendongak, memandangi saya dengan tenang, menunggu sebuah kalimat keluar dari mulut saya. Sejujurnya, tujuan saya menahan kepergiannya karena saya ingin bertanya perihal makanan kucing di pojok trotoar. Dia pasti tahu siapa yang meletakkannya, pikir saya. Tapi, mendadak saya kehilangan selera untuk mengurusi soal itu. Saya pun menggeleng. "Nggak jadi, Mas, makasih," kata saya agak tak enak hati.

Dengan tatapan bingung pemuda itu lantas meninggalkan saya.

Ya, memang apa pentingnya makanan kucing bagi saya? Meski ada berkarung-karung makanan kucing disebarkan di setiap penjuru kota ini, tidak akan ujug-ujug membuat hidup saya kembali seperti semula. Tidak akan membuat saya keluar dari segala situasi memuakkan ini.

~

Saat memasuki jam pulang kerja seperti ini, pemandangan jalanan yang sesak oleh kendaraan bukanlah hal aneh. Suara klakson yang menunjukkan ketidaksabaran pengemudinya—atau keugal-ulan pengendara lain—tidak hanya satu-dua kali terdengar.

Nasib yang sama dialami oleh minimarket tempat saya bekerja. Sudah pasti menjadi salah satu tempat transit para pekerja. Entah hanya untuk sekedar membeli minuman dingin, foya-foya yang sering dilabeli sebagai self reward, hingga untuk membeli berbagai kebutuhan rumah yang habis. Antrian di kasir mengular meski saya dan Mila telah membuka dua kasir sekaligus. Saya kembali mendapat jadwal shift yang sama dengan gadis itu. Bedanya di shift kali ini energinya jauh lebih baik dibanding semalam. Tapi mungkin sebentar lagi dia akan kembali berubah menjadi zombie setelah antrian panjang ini berakhir.

"Terima kasih, jangan lupa mampir lagi." Mila mengantar kepergian pelanggan terakhirnya dengan senyum sumringah. Beberapa detik setelah itu, saya menyusul. Antrian mengular resmi lenyap dari hadapan kami.

Gadis berhijab itu menghela napas panjang sekarang, menghempaskan dirinya ke kursi seolah baru saja selesai berperang.

"Kalau dipikir-pikir ternyata lebih enak shift pagi buta ya, Mas? Saya bisa kerja sambil tidur." Dia cengengesan, kemudian dengan susah payah meluruskan kedua kakinya. Sebuah ringisan keluar dari mulutnya. "Kaki saya rasanya mau patah."

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang