10. Karya Seni dari Rumi

10 1 0
                                    

Rasanya saya baru saja memejamkan mata ketika suara ketukkan pintu tiba-tiba terdengar. Mata saya terbuka perlahan, berat, sempat terpikir ingin mengabaikan saja siapa pun yang sedang menunggu di depan pintu dan melanjutkan tidur. Tapi benda berat yang terasa menindih perut, membuat saya mau tidak mau benar-benar membuka mata. Lima detik saya berbagi pandang dengan sepasang mata bulat itu, otak saya—yang belum sepenuhnya siap bekerja—mencoba menerjemahkan makhluk apa yang sedang terekam oleh mata saya.

"Oh ya," saya mendesah dengan suara serak beberapa detik kemudian, mengusap mata, "kucingnya nginep di sini."

Tok, tok, tok!

Suara ketukkan yang kembali terdengar membuat kepala saya otomatis mendongak ke arah pintu. Kening saya berkerut-kerut. Siapa yang bertamu sepagi ini? Dan ... sejak kapan rumah ini punya seorang tamu?

Saya melirik jam yang menunjuk pukul delapan pagi sebelum memberi gestur—dengan susah payah—agar kucing oranye itu menyingkir dari atas perut saya. Dia akhirnya melompat turun ketika saya mendorong-dorong tubuhnya menggunakan jari telunjuk. Saya beranjak menuju pintu. Cahaya matahari pagi yang segera menyambut tepat setelah saya menarik gagang pintu, membuat saya refleks terpejam selama beberapa detik untuk menyesuaikan panglihatan.

"Good morning!"

Tepat setelah sapaan ceria itu terdengar, kini saya bisa melihat seonggok tamu yang telah mengganggu tidur saya. Dia berdiri dengan senyum merekah seolah telah tidur selama delapan jam—itu jelas tidak mungkin. Saya melirik kedua tangannya yang tampak sarat: Ada dua kantung kain besar menggantung di masing-masing tangannya. Saya ngeri salah satu jarinya tiba-tiba putus. Oke, serius, sejujurnya saya tidak terlalu terkejut dialah tamu saya pagi ini. Tapi, apakah harus sepagi ini? Saya curiga dia bukannya bermaksud bekerja sama untuk mewujudkan mimpi masa kecilnya yaitu memelihara kucing, tapi punya misi jahat untuk semakin membuat saya tercekik dengan realita hidup.

"Good mor-ning?" Dia mengulangi sapaannya, tapi kali ini sambil memiringkan wajah dan melotot karena saya hanya mematung dengan tampang kusut di hadapannya.

"Mm," balas saya tidak ikhlas.

"Boleh masuk nggak? Nenteng dua kantung belanja gini bukan perkara mudah, kalau Tuan mau tau."

Dengan mata masih mengantuk, saya menggeleng. "Nggak mau tau."

Raut mukanya dengan cepat berubah sebal. "Lagi nggak punya waktu buat basa-basi nggak penting."

Saya mengedik cuek, bergeser, menempelkan punggung ke daun pintu. Dia pun beranjak masuk dan sempat berkata sarkas ketika melewati saya. "Ini berat lho, nggak ada inisiatif nolongin nih?"

"Semoga segala yang berat senantiasa diringankan oleh Yang Maha Kuasa," kata saya lempeng. "Udah."

Dia mendesis sebal, dengan kekuatan penuh menginjak satu kaki saya sebelum lanjut melenggang menuju dapur dengan langkah-langkah penuh kepuasan.

Menyadari kedatangan Rumi, kucing oranye yang semula goleran di lantai, mendadak bersemangat, berlarian menyusul gadis itu menuju dapur, melompat ke salah satu kursi demi mampu menggapai meja makan tempat dua kantung besar itu diletakkan. Rumi menyapa, mengajaknya bicara sambil mengelus-elus kepalanya selayaknya seorang ibu yang bahagia setelah akhirnya mendapatkan anak pertamanya. Mungkin selama lima menit saya cukup betah bersandar di daun pintu demi menyaksikan pemandangan itu. Rasanya familiar dan asing secara bersamaan.

Waktu punya kekuatan menyamarkan jejak. Namun tidak pernah sanggup benar-benar melenyapkannya. Jauh sebelum kabar meninggalnya Bang Ragi merenggut kehangatan keluarga ini, hari Minggu selalu jadi hari keluarga bagi kami. Khusus di satu hari itu, Bapak, Ibu, Bang Ragi, saya, tidak boleh punya jadwal apa pun yang mengharuskan kami meninggalkan rumah. Bahkan ketika Bang Ragi akhirnya resmi menetap di Jakarta, hari Minggu tetap kami jalani dengan personil lengkap. Bang Ragi tetap dapat mengikuti hari keluarga bersama kami melalui telepon video.

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang