5. Perempuan Selalu Benar

12 1 0
                                    

Selama nyaris setengah jam saya harus terjebak bersama gadis itu. Mencari keberadaan seekor kucing—yang bahkan saya tidak sempat melihat dengan jelas seperti apa ciri-cirinya—di bawah derasnya hujan. Saya persis seperti orang buta yang diberi tugas membaca maps. Dan tanpa mengurangi rasa hormat, hanya orang bodohlah yang akan memberi tugas itu kepada orang buta.

Saya melirik jengkel gadis yang sedang masuk ke warung tenda lalapan, lagi dan lagi. Tiga puluh menit terakhir, entah sudah berapa kali dia mencoba mencari kucing itu di sana. Saya terlalu bosan melihatnya, juga kedinginan. Seluruh jari tangan saya telah keriput. Tapi dia bahkan tidak menunjukkan gejala-gejala kedinginan atau semacamnya. Sebagai seorang lelaki yang tidak ingin dicap "tega", tentu saja saya sudah mencoba memberikan jas hujan saya agar dia saja yang mengenakannya. Tapi alih-alih menerima kemurahan hati saya, melirik saja dia tidak sudi.

Saya mendengkus. Memilih berteduh di salah satu teras ruko. Ini terlalu menguras waktu dan saya kehabisan ide harus mencari kucing itu ke mana lagi. Sebetulnya saya bahkan punya banyak kesempatan untuk kabur dari situasi ini, tapi setiap kali saya akan melakukannya, gadis itu selalu datang di waktu yang tepat seolah ada sebuah antena di atas kepalanya yang mampu memberi sinyal ketika tawanannya mencoba kabur.

Hatchuuu!

Saya bersin. Tiga kali. Tepat di detik berikutnya, guntur meraung kencang di langit kota yang kelabu pekat. Raungan pertama, kedua, kemudian diakhiri dengan kilatan cahaya terang. Saya menghela napas. Ini buruk sekali. Saya seharusnya sudah sampai di minimarket sejak sepuluh menit yang lalu. Sial—

Saya refleks menoleh ketika tong sampah kecil di dekat pilar ruko tampak bergerak dan menimbulkan suara gesekan plastik. Saya mencoba mendekat. Semakin dekat, telinga saya secara samar-samar seperti menangkap suara meong-an kecil. Dan benar saja, ketika saya menyingkap kresek hitam di dalam tong sampah, terpampanglah seekor kucing dengan bulu oranye yang basah kuyup. Saya mencoba mengeluarkannya. Ada banyak kucing liar yang berkeliaran di daerah ini, saya tidak yakin yang saya temukan ini adalah kucing yang gadis itu cari, sampai ....

"Ketemu!!!" Teriakan seseorang tepat ketika kucing berukuran sedang itu berhasil saya keluarkan dari tong sampah, sontak membuat saya menoleh. Gadis itu terlihat sedang berlari mendekat. Air hujan yang menggenangi trotoar terciprat setiap kali kakinya menghentak.

Kucing oranye itu segera raib dari tangan saya tepat ketika gadis itu sampai di hadapan saya. Dia memeluknya dengan penuh haru. Saya memerhatikan sejenak. Dia jelas berbeda dengan pelanggan kafe yang selalu membuat aksi tebar pesona Ben gagal beberapa minggu terakhir. Dia yang berdiri di hadapan saya sekarang, sungguh berbeda. Lebih terlihat seperti manusia. Apa karena kucing ini? Karena kucing-kucing liar itu?

Tepat ketika saya mengerjap, dia telah hilang dari hadapan saya. Beralih duduk di lantai di pojok teras ruko bersama kucing yang erat dalam pelukannya. Baiklah. Tanggung jawab saya telah usai. Masih ada sisa waktu sebelum jam shift saya dimulai. Saya bergegas menuju sepeda yang masih terparkir di sisi trotoar, tanpa berpamitan karena tampaknya dia pun tidak begitu peduli lagi dengan keberadaan saya.

Namun, tepat ketika tangan saya berhasil meraih setang sepeda, ada sesuatu di dalam diri saya yang tiba-tiba mendorong saya untuk berbalik dan kembali menghampiri gadis itu. Sepuluh detik, saya hanya berdiri kaku di hadapannya. Sampai ketika dia mendongak, semua kata-kata di dalam kepala saya seolah lenyap.

"Kenapa?" tanyanya. "Kucingnya udah ketemu, kamu boleh pergi."

Saya mengangguk. Lantas berbalik demi kembali berputar menghadap dia lima detik kemudian. Dia mendongak lagi, ekspresinya datar namun saya bisa melihat jelas kebingungan di sorot matanya.

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang