Ada empat kursi mengelilingi meja makan kayu di tengah dapur. Satu tahun lamanya, tiga dari empat kursi itu tidak ada yang menempati. Satu tahun pemandangan di depan saya hanya udara hampa. Satu tahun tidak pernah terdengar lagi suara denting sendok orang lain selain suara yang dihasilkan sendok dan piring saya. Satu tahun suara saya nyaris tak pernah didengar oleh seisi rumah ini—kecuali ketika ada panggilan telepon dan sejenisnya.
Minggu dini hari, nyaris menyentuh angka dua jarum jam di dinding, satu kursi dari tiga yang tak berpenghuni, akhirnya terisi. Bukan Bang Ragi, Bapak, atau pun Ibu.
Tapi seorang gadis—yang kemungkinan rada gila—yang tanpa melalui pemikiran matang, saya tampung di rumah ini demi menyelamatkannya dari hujan—yang bahkan sebetulnya sama sekali tidak berbahaya karena masih berwujud air dan bukannya nuklir.
Saya berbagi dua bungkus mie instan dengannya, dan sekarang saya bahkan menuangkan air ke gelasnya setelah iba melihat tangan kurusnya tampak kesulitan mengangkat teko yang berisi penuh air.
"Kamu tinggal sendirian?" Dia akhirnya membuka percakapan.
Saya memilih tetap fokus menikmati mie goreng di piring alih-alih menjawab.
"Kenapa nggak ada satu pun foto yang dipajang? Foto keluarga misalnya? Atau foto narsis? Selfie? Foto al—"
Saya segera melempar tatapan datar yang berarti sebuah peringatan.
"Kerupuk! Nggak ada kerupuk ya?" Dia berlagak tak paham, mendadak tolah-toleh mencari keberadaan kerupuk—yang sangat kentara dia lakukan hanya untuk berkelit.
"Nggak usah nyari yang nggak ada."
"Jutek banget sih. Kan kerupuk enak."
"Yang bilang nggak enak siapa?"
Sesaat saya berhasil membuat dia mati kutu. "Saya tamu lho," katanya kemudian. "Kalau sama tamu harus ramah, itu tata krama paling dasar."
Saya bahkan tidak pernah membayangkan gadis pendiam tanpa ekspresi yang setiap minggu mampir ke kafe ternyata adalah sosok cerewet yang sekarang sedang duduk di hadapan saya. Dan dia baru saja mengajari saya perihal tata krama, sementara sikapnya selama ini ketika berkunjung ke kafe bahkan tidak mencerminkan bahwa dia pernah mendapatkan pendidikan mengenai itu. Bagaimana bisa dia bertingkah seratus delapan puluh derajat berbeda begini? Lebih-lebih, bagaimana bisa kalimat itu keluar begitu enteng dari mulutnya?
"Lagian, yang ngundang saya ke sini kan kamu." Dia masih mendumal, menggulung mienya menggunakan garpu. "Kalau tau tuan rumahnya begini, mau di luar ada perang bambu runcing atau agresi militer juga nggak bakal ada yang minat bertamu di rumah ini buat berlindung."
Lima detik, saya menatap bosan mulutnya yang terus mengoceh, kemudian helaan napas terhembus tanpa sadar dari mulut saya. Lantas tangan saya bergerak mengambil teko, hendak mengisi kembali gelasnya sebagai bentuk permintaan maaf—entah kenapa juga saya repot-repot melakukan itu.
"Gelas saya masih penuh kali, ngapain diisi lagi?"
Seperti sedang mengendarai sepeda dan tersadar ada seorang nenek-nenek sedang menyeberang jalan tepat setelah jaraknya hanya tinggal selangkah dari roda depan, tangan saya menarik rem secara mendadak. Membuat mulut teko kembali menjauhi gelas, membuat air di dalamnya gonjang-ganjing. Ah, bodoh, kenapa saya tidak menyadari bahwa dia bahkan belum meneguk setetes pun air yang sebelumnya saya tuangkan. Sial, bikin malu saja!
"Jadi, kenapa nggak ada satu pun foto keluarga di rumah ini?"
Saya bersiap bangkit untuk membawa piring saya ke wastafel—tentu saja untuk melewati pertanyaannya. Namun tangannya jauh lebih gesit menahan tangan saya di meja bahkan sebelum pantat saya berhasil beranjak satu inci pun dari kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...