Di halaman rumah kami yang terbatas, dulu Ibu ngotot ingin menanam pohon tabebuya, katanya supaya rumah kelihatan cantik, supaya tidak perlu jauh-jauh melihat sakura ke Jepang. "Kalau di Jepang ada sakura, di rumah kita ada tabebuya. Mirip kok, nggak kalah cantik," kata Ibu kala itu. Kami para laki-laki, tentu saja tidak ada yang bisa membantah. Ibu adalah ratunya rumah ini.
Dan ya, Ibu benar, memang tak kalah cantik. Kini sudah kokoh berdiri di pojok halaman rumah, dekat pintu pagar. Batangnya kian tinggi dan punya banyak cabang. Bunganya yang berwarna merah jambu sungguh banyak bermekaran. Yang berguguran pun tak kalah banyak hingga menyeberangi tembok pagar, mengotori trotoar dan halaman rumah sekaligus, membuat saya jadi kerepotan membersihkannya.
Hari minggu pagi menjelang siang, setelah mengunjungi Ibu, waktunya saya menjadi upik abu. Membersihkan seluruh rumah, menyirami tanaman-tanaman kesayangan Ibu, menyingkirkan dedaunan kering yang menutupi hamparan rumput halaman, mencuci pakaian kotor, dan pekerjaan rumah lainnya. Sekarang saya sudah sangat mahir melakukan tugas-tugas itu sehingga tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Dan saya akan dengan bangga hati mengatakan kalau saya bukan lagi Bian yang selalu mendapat omelan Ibu karena malas bersih-bersih. Sebenarnya bukan hanya saya, seluruh laki-laki di rumah ini punya tabiat yang sama dalam hal itu.
Mungkin segala kemalangan yang terjadi dalam hidup memang diperuntukkan untuk membuat anak-anak—yang sering menyusahkan ibunya dalam pekerjaan rumah—menjadi lebih mandiri.
Suara pengering mesin cuci lenyap tepat ketika satu bungkus mie instan tercemplung ke dalam air mendidih. Saya bergegas meninggalkan dapur, mulai memindahkan pakaian dari mesin cuci ke ember. Lalu dengan langkah-langkah lebar pergi ke halaman depan, mengeluarkan jemuran besi dari lorong samping, meletakkannya tepat di sisi halaman yang mendapat siraman matahari cukup sempurna. Cucian saya tidak banyak, tidak butuh waktu lima menit untuk menatanya di atas jemuran. Lantas setelah urusan jemur-menjemur selesai, saya kembali melesat ke dapur. Beruntung menu makan siang saya hari ini selamat. Saya tidak suka mie yang terlalu lembek. Kali ini mendarat di piring dengan kematangan yang pas.
Ada empat kursi mengelilingi meja makan di tengah dapur. Genap setahun tiga di antaranya tidak pernah memiliki penghuni lagi. Saya melahap mie instan goreng polos—tanpa telur ceplok, sayuran, kornet, cabai, dan entahlah apa lagi—dalam keheningan. Hanya ada suara kunyahan saya, denting garpu ketika bersentuhan dengan piring, dan kendaraan yang berlalu-lalang di luar. Satu suap, tiga suap, lima suap. Saya menikmatinya sambil menatap apa saja yang tak sengaja tertangkap oleh mata saya.
Saya telah terbiasa dengan acara makan yang berlangsung singkat dan senyap.
Tidak ada suara Bang Ragi mendominasi meja makan—yang tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Tidak ada tawa renyah atau guyonan garing Bapak yang selalu jadi bulan-bulanan Bang Ragi. Dan tidak ada camilan penutup yang tidak pernah absen Ibu gelar di tengah meja hingga membuat acara makan bersama menjadi molor berjam-jam.
Kemarin, hari ini, besok, lusa, bahkan berapa banyak pun hari yang akan datang selanjutnya, meja makan ini hanya akan dihuni oleh saya seorang. Si bontot yang biasanya cuma ambil bagian cengangas-cengenges saja. Sampai hari ini, seisi rumah ini mungkin lupa kapan terakhir kali mendengar saya berbicara. Entah kepada siapa saya harus bicara, entah untuk apa saya melakukannya. Apakah dinding akan menyahut? Apakah meja dan kursi akan balas menyapa? Apakah lantai akan menertawakan guyonan saya? Apakah seluruh peralatan di rumah ini akan bertanya bagaimana keadaan cuaca di luar atau berbaik hati menawarkan sebuah pijatan paling enak sedunia ketika melihat saya kelelahan setelah bekerja seharian?
Tentu saja tidak.
~
Setengah empat sore, setelah sempat tertidur selama kurang dari tiga jam, saya mulai bersiap pergi ke kafe. Hanya di hari Minggu saya mendapat jadwal shift sore. Dan tidak seperti pegawai kantoran, saya hanya butuh kaos oblong dan celana jeans—yang warnanya sudah memudar karena terlalu sering dipakai—sebagai setelan untuk bekerja. Pun tidak perlu menata rambut sedemikian rupawannya, cukup menyisirnya satu-dua kali dan selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...