Prologue

123K 4.9K 43
                                    

Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir kuda itu merintih kesakitan seraya memegangi lututnya yang tergores. Dia duduk di tepi jalan dengan luka yang berdarah dan tangis di sudut mata beriris hazel tersebut.

"Cammy jahat!"

Bibir merah mudanya menggerutu sambil mencoba melepaskan sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah, kontras dengan warna kulitnya yang putih bak persolen. Dia melotot ke arah laki-laki kecil yang berdiri dihadapannya.

Laki-laki itu diam dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia mendengus kesal melihat gadis dihadapannya yang tidak hentinya merengek tersebut.

"Berhenti memanggilku Cammy, Sara! Panggilan itu terdengar menjijikan," cibirnya. Dia membuang muka pada gadis yang bernama Sara. Lantas membuat Sara semakin marah kepadanya.

"Kau sudah membuatku jatuh dengan sepatu hak tinggi sialan ini! cammy -maksudku Cameron, apa sih salahku sehingga kau menyuruhku untuk memakainya? Ini menyiksaku!" balas Sara tak kalah sengit.

Cameron mendecak kesal. "Tentu saja aku menyuruhmu memakainya bukan tanpa alasan. Kau tahu sara? Hari ini Uncle Andrew menikah, semua undangan memakai sepatu bagus. Bukan seperti sendal jepit jelekmu itu!"

Sara mendelik ke arah Cameron. "Sendal jepit jelek? Jangan menghinaku dan semua sendal kesayanganku! Kau benar-benar menyebalkan, Cam."

"Ayolah, Sara! Umurmu sudah menginjak dua belas tahun! Bahkan anak balita sudah bisa menggunakan sepasang sepatu hak tinggi. Kau ini bodoh atau apa, sih? Tidak tahu mode sama sekali."

Sara mendesis tajam. Amarahnya benar-benar sampai ke ubun-ubunnya sekarang. "Mode? Tahu apa kau masalah mode, Cam?! Aku hidup bukan untuk mode! Kenyamanan adalah prioritasku. Lagipula kau adalah laki-laki, kenapa mengurus masalah perempuan berpakaian?"

"Kau hanya perlu memakai sepatu itu untuk hari ini, Sara." Cameron berkilah. Kedua bola matanya berputar penuh penekanan.

"Aku tahu. Lihatlah, aku sudah memakai dress, aksesoris, dan bedak di wajahku. Aku tidak harus memakai sepatu sialan itu!" Sara menautkan kedua alisnya. "Dan sendal jepitku...kemana kau menaruhnya, Cameron?"

Cameron mengangkat kedua bahunya acuh. "Sudah kumasukkan ke dalam tempat sampah. Sendal itu terlalu lusuh untukmu. Aku bisa membelikan sepatu baru yang lebih bagus."

"Demi Tuhan, Cam! Sendal itu salah satu favoritku. Aku mendapatkannya satu tahun yang lalu dari Bali. Kau pikir gampang untuk mencari sendal seperti itu, huh!?" hardik Sara kesal.

Laki-laki itu mencibir pelan. "Aku bisa membelikan yang baru untukmu. Koleksi Christian Louboutin bahkan lebih baik daripada sendal jogy milikmu itu."

"Jangan menghina barang-barangku, Cam," ucap Sara menggeram. "Menyebutkannya saja kau salah. Namanya Jogger bukan Jogy!"

Cameron mengibaskan kedua tangannya santai. "Ya-ya-ya, Sendal Jogger-MU itu. Masa bodohlah apa namanya."

Sara kembali menggeram. Dia melotot lebar ke arah Cameron yang semakin menyebalkan itu. "Kau sudah mengenalku dengan baik, Cameron. Berhentilah menyuruhku memakai koleksi sepatu dengan hak tinggi sialan itu! aku tidak suka. Selamanya tidak akan pernah suka," serunya. Sara menggelengkan kepalanya dengan keras.

"Terserahmu saja, Sara. Tetapi toh kau akan memakainya juga saat tua nanti," sahut Cameron santai. Dia mengedarkan pandangannya ke arah jalanan dengan wajah sialan tampannya itu.

Sara menghembuskan nafasnya keras kemudian berbisik pada dirinya sendiri. "Sok tahu sekali Cameron ini. lagipula siapa yang ingin memakai sepatu Christian Louboutin itu? hanya orang-orang tua yang ingin pamer saja yang memakainya. Cameron sialan!"

"Aku mendengarnya, Sara..." ucap Cameron dingin. Dia lantas berjalan meninggalkan Sara yang masih duduk dengan lutut berdarahnya.

Sara semakin melotot ke arah punggung Cameron yang terbalut tuxedo hitam miliknya tersebut. Bahkan di umurnya yang masih terbilang muda ini, Cameron benar-benar gagah dan terlihat sangat keren dengan setelan itu.

"Hei-hei, Cammy!" Panggil Sara. Khawatir juga jika ia ditelantarkan dijalanan sendirian dengan sepatu merah sialan tersebut.

Cameron menoleh sebentar ke arahnya. Memasang wajah tidak berminatnya pada Sara. Sekaligus ekspresi kesalnya karena tidak suka dipanggil 'Cammy'.

"Jangan pergi -tolong, bantu aku. Ya, bantu aku mengobati lukaku ini. kau harus tanggung jawab," pinta Sara keras. Wajahnya cemberut ke arah Cameron. Sementara orang-orang yang lewat hanya memandanginya dengan cuek dan menggelikan.

"Tanggung jawab?" tanya Cameron. Ia menaikkan sebelah alisnya jenaka sembari menatap Sara kesal. Dia adalah tipe orang yang paling benci diperintah oranglain.

"Well, tanggung jawab. Aku luka karenamu! Sudah sepantasnya kau membantuku," jawab Sara garang. Gadis itu sengaja memelototkan matanya besar-besar dan melemparkan tatapan membunuh kepada Cameron.

Laki-laki itu akhirnya berbalik dan menghampiri Sara. "Cepat berdiri!" gertaknya kesal. Menyebalkan sekali mempunyai teman macam Sara yang membuatnya sering emosi itu.

"Apa!?" tanya Sara ketika ia berusaha berdiri. Mengabaikan uluran tangan Cameron yang memasang ekspresi penuh amarahnya.

"Kau bahkan bisa sendiri tanpa bantuanku..." cibirnya semakin kesal.

Sara mendengus keras. Membuang muka dari Cameron. "Ya -kuharap setelah ini kau pergi dan kita tidak akan pernah bertemu lagi, Cammy."

"Jangan kau pikir aku senang denganmu, Sara. Kau begitu menyebalkan. Apalagi dengan nama panggilan kekanakanmu itu. Cammy -huh, kau pikir aku ini bonekamu. Aku juga tidak sudi melihat orang yang childish terus sepertimu."

"Heh!? Tuan Cameron Frances yang terhormat. Dengan segala hormat aku meminta padamu, tidak bisakah kau sehari saja tidak menghinaku!?" tanya Sara marah. Dia berjalan sambil mencak-mencak di samping Cameron yang terlihat cool.

Cameron hanya menatap Sara dengan tatapan datar tanpa minatnya. Bibirnya kemudian tertarik sedikit membentuk seringaian kecil.

"Tidak bisa."

***

Thank you.
4 Juli 2015.

Heels, Tux And CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang