MOZAIK 8

35.9K 2.1K 24
                                    

Hello.
Kita ketemu lagi ya readers tercinta ku yang masih setia menunggu cerita ini (kalau ada sih). Makasih ya sudah mau menunggu dan membaca lanjutan cerita Abal-Abal ini.

Setelah waktu yang cukup lama (dari 26 sept 2015 ke 12 feb 2016), akhirnya saya berhasil merangkai sejumlah kata dan merampungkannya dalam satu chapter. Nggak dapat feel nya lagi. Maaf ya. Iya cuma satu chapter, dan nggak ada chapter cadangan. Doakan aja semoga nanti bisa terus lanjut ceritanya.

Selamat menikmati

***

Mozaik 8

Sara mengetuk-ketukkan jemarinya di meja. Saat ini ia sedang berada di ruangannya, di dalam butik sekaligus kantor miliknya.

Gedung itu hanya terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama atau lantai dasar berisi koleksi pakaian rancangannya, lantai kedua adalah kantor para staff sekaligus pabrik perancangan busana miliknya, lantai terakhir, adalah rumah bagi para pegawainya -biasanya adalah para staff penjahit- yang memutuskan untuk lembur atau dinas selama beberapa hari untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.

Ruangannya serba putih, tidak terlalu banyak ornamen dan dikelilingi kaca sehingga memiliki efek terang benderang dan klinis. Mungkin sekilas ruangan ini terlihat seperti kantor ibu-ibu perfeksionis yang hidupnya terlalu rapi dan monoton.

Pandangan Sara menerawang, sama sekali tidak terlihat fokus pada pekerjaannya. Sudah seharian penuh ini ia duduk dan terlihat bingung sendiri. Pikirannya masih tertuju pada pertanyaannya untuk Cameron, yang mana tidak dijawab oleh pria itu.

Sampai sekarang.

Banyak sekali pertanyaan yang tersimpan di benaknya. Rasanya seperti magma yang siap meledak di suatu waktu. Memancarkan lahar panas yang bisa saja membakar siapa saja. Bahkan juga dirinya sendiri.

Sara memutuskan untuk berdiri, merapikan blazer berwarna krim yang manis dan pas membalut tubuh indahnya lalu mengambil sebuah pulpen. Dia menggoreskan beberapa kalimat di atas sebuah memo berwarna fuschia kemudian menempelkannya di desk-calendar miliknya.

"Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi padaku?" serunya frustasi sembari mengacak rambutnya pelan.

Sara menghembuskan nafasnya keras, sedikit memanyunkan bibirnya kesal, hingga memutuskan untuk keluar dari kantornya. Sedikit refreshing mungkin bisa menjernihkan kembali pikirannya.

Bunyi langkah Sara yang sedikit menghentak terdengar di sepanjang jalan saat melewati kubikel para pegawainya. Paige, sahabatnya, sekaligus ketua divisi keuangan menghampirinya. Memang, semua wajah yang melirik ke arah Sara selalu sama, sedikit diliputi rasa penasaran. Pasalnya, jarang sekali boss mereka tersebut pergi bekerja dengan wajah ditekuk, apalagi dia baru saja selesai honeymoon.

"Kenapa cemberut?" tanya Paige. Gadis berambut brunette dengan kacamata tipis yang membingkai kedua matanya tersebut menghentikan langkah Sara.

Wanita itu hanya tersenyum tipis tanpa arti. Menatap Paige yang balas menatap dirinya, Paige menunggu jawaban yang keluar dari Sara.

"Entahlah."

Dahi Paige mengernyit, bingung dengan jawaban Sara tadi. "Entah?"

Sara hanya mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lift. Dia ingin bercerita pada Paige, namun bukan disini, ditempat para pegawainya yang -ia tahu- ikut penasaran dengan semua pembicaraan mereka.

Heels, Tux And CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang