"Frances."
"Oh-astaga, Cam! Yang meneleponmu ini Mom. Kenapa kau menjawabnya dengan formal seperti itu!?" tanya ibunya. Heboh seperti biasanya.
"Maafkan aku. Aku tidak melihat nama peneleponnya," bohongnya. Dia melirik ke arah Sara yang ternyata menatapnya dengan seringaian tipis yang mengatakan seolah dia adalah pembohong terbesar abad ini.
"Well, mungkin kau terlalu fokus dengan isterimu, Cam. Aku tidak mengganggu kalian?" goda ibunya. "Bagaimana keadaan Sara sekarang? Dia ada disebelahmu, kan?"
Cameron melirik ke arah Sara lagi. Gadis itu masih menatapnya dengan tatapan datar. Bukan, itu lebih cenderung tatapan curiga, sebenarnya. "Ya. Dia benar-benar disebelahku dan menatapku penuh curiga."
Gelak tawa dari ibunya terdengar dari seberang telepon. "Apa!? Apa Sara cemburu padamu? Demi Tuhan, dia terdengar begitu imut, Cam. Mungkin saja dia mengira kau mendapat telepon dari wanita lain?"
"Mom adalah wanita lain juga," jawab Cameron dingin.
"Oh, iya, ya?" Ibunya terdengar bersemangat sekali kali ini. "Maksudku, telepon dari salah satu gundikmu. Mungkin saja dia curiga dengan hal itu."
"Jangan mengada-ada, Mom." Cameron mendesah panjang. Dia terlihat jengah dengan percakapan yang bertele-tele seperti ini.
"Kau tidak asyik, Cam," komentar ibunya. "Bisa kau serahkan ponselmu pada Sara? Mom ingin bicara dengannya," pinta ibunya antusias.
Cameron hanya menggangguk pelan. Dia lantas menyerahkan ponselnya pada Sara. "Mom ingin bicara padamu," ucapnya ketus.
Sara mencibir. Dia balas memandang Cameron dengan gusar. "Sara, ya, ada apa?" tanyanya. Nada suara miliknya berubah menjadi menyenangkan.
"Oh-Sara, aku benar-benar merindukanmu sekarang. Bagaimana keadaanmu, sayang?" tanyanya senang.
Sara hanya tersenyum. "Aku baik-baik saja, Mrs. Frances."
"Tidak, Sara. Sudah aku bilang padamu bukan? Panggil aku Emily. Lagipula kau sekarang juga resmi menjadi seorang Frances."
Sara mendesah pelan. Dia sadar betul dengan kenyataan mengejutkan itu. "Ya-Emily."
Emily tertawa senang. "Itu terdengar bagus. Bagaimana dengan suamimu? Dia tidak membuat kekacauan bukan?" tanyanya khawatir. "Suaranya benar-benar tidak baik tadi. apa dia sedang badmood karena aku mengganggu kalian?"
Sara mengendikkan bahu, walau ia tahu jika Emily tidak dapat melihatnya. "Entahlah."
"Kalian tidak bertengkar, kan? Ayolah, Sara. Kau tahu sikap Cameron benar-benar senang berubah. Aku harap kau bisa memakluminya."
Ya, maklum. Sampai tingkat mana kemakluman yang dimaksud Emily? Kalau menghadapi monster semacam Cameron ini sih tidak bisa banyak maklum. Batin Sara.
"Ya. Aku juga berharap begitu," jawabnya tidak yakin.
"Kalau begitu, kita tinggalkan masalah puteraku yang badmood itu." Suaranya kembali gembira. "Bagaimana honeymoon kalian? Sukses?"
Wajah sara langsung memerah mendengar pertanyaan intim tersebut. Dia kembali memutar memori tentang honeymoon mereka, sukses dimana? Ya, sukses di awalnya saja. Setelah dia terbangun dari tidur nyenyaknya, justru berubah menjadi malapetaka.
"Err-soal itu," Sara melirik ke arah Cameron yang balik menatapnya juga. Sepertinya pria itu benar-benar penasaran dengan isi pembicaraan mereka dan ingin berteriak agar Sara me-loudspeaker obrolan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heels, Tux And Curse
ChickLitSara Rose, mencintai koleksi sendal jepitnya melebihi apapun. membenci semua hal berbau parlente, high heels, dan musuh yang mempermalukannya dengan sepasang sepatu hak tinggi -tidak lain teman masa kecil yang menyebalkan, Cameron Frances. Cameron F...