"Guten Morgen hari terakhir Februari di tahun kabisat :)"Mozaik 12
***
Paris, France, 20 years ago.
Tahun pertama Cameron tinggal.
Langit jingga kemerahan yang menyelimuti kota Paris senja itu tak menghentikan langkah gadis kecil yang tengah berlari menuju ke rumahnya. Sebuah ransel berwarna blue turkish yang dikenakannya ikut bergoncang seiring langkahnya yang menghentak.
Bulir keringat di dahi bahkan tak ia perhatikan demi tujuan utamanya, sampai ke rumah secepat mungkin. sehingga ibunya takkan merasa khawatir padanya.
Namun, takdir berkata lain. Di persimpangan jalan, ia melihat kalau rumah yang berada tepat di samping rumahnya mendapatkan penghuni baru. Kedua orang tua gadis itu pun bahkan ikut melihat acara pindah rumah calon tetangga barunya tersebut.
Dia mendekat ke arah kedua orangtuanya, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, "mère..." panggilnya.
Sang ibunda -yang ia panggil mère- menoleh, tersenyum sesaat sebelum menarik tubuh gadis kecil itu mendekatinya.
"Ya, Sara?" sahutnya penuh kasih sayang.
Sara kecil tersenyum. Sangat tulus ketika ibunya membelai lembut puncak kepalanya.
"Siapa mereka?" tanya Sara polos.
"Tetangga baru kita sayang," jawab ibunya.
Sara yang masih berumur enam tahun itu mengangguk kecil. Ia sendiri tidak mengerti kenapa orang-orang di sekitarnya begitu sibuk hilir-mudik mengangkut perabotan.
Seorang anak laki-laki tampan seusia Sara terlihat duduk di atas sebuah box yang cukup besar. Merasa penasaran, Sara langsung menanyai ibunya tentang anak laki-laki tersebut.
Ia menarik baju ibunya seraya menengadah ke arah sang ibu. "mère."
"Ya, sayang?"
Sara menujukkan telunjuknya ke arah anak lelaki tadi. "Siapa dia?"
Sang Ibu, Evanna Rose, tersenyum ke arah Sara. "Dia putera keluarga Frances, tetangga baru kita."
Sekilas Sara melihat watak dari anak lelaki itu pun sudah merasa aneh. Ia merasa jika lelaki itu -yang ekspresi wajahnya dingin dan terkesan sombong- itu adalah seorang yang keras kepala dan seenaknya sendiri. Terlihat dari gaya duduknya yang bersedekap dengan dagu yang tegas.
"Sepertinya dia menyebalkan," komentar Sara langsung.
Ibunya melotot, "hush! Kau ini, ngomong jangan sembarangan, Sara. Kau kan belum tahu bagaimana sifat dari anak itu."
Sara bersikukuh, "tidak. Aku yakin sekali kalau dia itu menjengkelkan. Feeling kuatku mengatakan jika hal itu benar."
"Mungkin kalian berdua bisa berteman. Ibu lihat kalian seusia." Ibunya mengusulkan.
Sara menggeleng keras. "No---off course not, mère."
"Dia terlihat baik," tambah ibunya. "Kau saja yang terlalu berprasangka buruk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heels, Tux And Curse
ChickLitSara Rose, mencintai koleksi sendal jepitnya melebihi apapun. membenci semua hal berbau parlente, high heels, dan musuh yang mempermalukannya dengan sepasang sepatu hak tinggi -tidak lain teman masa kecil yang menyebalkan, Cameron Frances. Cameron F...