MOZAIK 17

23K 1.3K 25
                                    

MOZAIK 17
***

Suasana Culture Espresso di jantung kota New York itu cukup ramai. Di salah satu sudut cafe, dua orang lelaki itu tengah berhadapan dengan tatapan yang berbeda. Yang satu memiliki sorot mata tajam penuh amarah sedangkan lawannya justru terlihat tenang dan manipulatif.

"Jadi ingin berbicara denganku?" sindir pria bertatapan tenang tersebut. "dari beberapa menit yang lalu kau hanya menatapku seperti singa yang melihat daging segar."

Pria yang bertatapan tajam, Cameron, menurunkan lipatan tangannya yang semula didepan dada. Justru membuat ia mengepalkannya di samping paha.

"Kau ingin berbicara masalah Adikmu seperti biasanya..." Kalimat itu sengaja dipotong. "atau Sara?"

Cameron mendesis pelan. "Keduanya."

"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya pria selain Cameron, tak lain Darren, dengan tenang. Bukan pura-pura tenang. "aku akan menjawabnya jujur."

"Baguslah kalau jujur adalah niatmu," komentar Cameron dingin.

"Kau ingin aku mulai dari siapa?"

Cameron mendecak kesal. "Terserah kau ingin dari siapa."

Darren menaikkan kedua alisnya menantang. "Berita baik atau berita buruk?"

"Bagiku semuanya berita buruk," jawab Cameron sinis.

"Oke. Aku lebih suka manis di awal," sahut Darren. "khusus untukmu saja."

Cameron kembali mendesis. Ia tahu kalau bajingan ini berusaha mempermainkannya seperti seorang balita.

"Aku tidak peduli." Cameron menanggapinya benar-benar tak peduli.

"Kabar baiknya, adikmu sadar. Charlotte benar-benar sehat hingga aku sendiri heran dengan perubahan drastisnya. Meskipun gadis itu masih lumpuh," tutur Darren panjang lebar.

Cameron cukup terkejut dengan kalimat Darren barusan. Namun, seulas senyum bahagia tersungging dibibirnya.

"Dia bilang padaku bahwa ingin menemuimu. Kakaknya."

"Aku akan mengunjunginya setelah ini. Membawanya pulang ke rumah. Membawa hartaku untuk pergi darimu." Cameron mengucapkannya dengan penuh sarkasme.

"Oh, kau benar-benar pebisnis profesional. Semua benda yang kau miliki kau anggap hartamu. Paradigma yang menakjubkan," sindir Darren lagi. "yakin ingin mendengar bagian buruknya?"

Cameron menyeringai iblis. "Jika kau berpikiran aneh-aneh, segera enyahkan saja. Bagiku hanya Charlotte kepentinganku disini."

"Hanya Charlotte?" Darren terhenyak. Ia menelusuri kedalaman mata Cameron, berharap bahwa pria itu bercanda. Namun ia salah. Pria ibu benar-benar serius dan tidak berbohong. Sialan.

"Hanya Charlotte," jawab Cameron mantap. "ada yang kau ragukan?"

Darren terdiam sesaat, kemudian pria itu kembali membaca sikap yang ditunjukkan Cameron didepannya. "Berarti aku hanya bercerita yang menyangkut Charlotte saja."

Cameron refleks mengepalkan tangannya semakin erat. Sembari berusaha untuk tetap terlihat tenang.

"Berita buruknya, Charlotte mengenal Sara. Mereka berteman dekat."

Cameron tidak terkejut. Sara sudah menanyakan tentang Charlotte lebih awal.

"Kau sudah tahu hal itu," komentar Darren. "Berarti kau tahu dari mulut Sara."

Cameron menghembuskan nafasnya perlahan. "Karena hal itu Sara memborbardir diriku dengan banyak pertanyaan."

Darren mengulum senyum. Dia menyukai semua tentang Sara. Bahkan tingkah lucu wanita itu. Sayang sekali Sara sudah dimiliki pria dingin dan keras kepala seperti didepannya sekarang.

Heels, Tux And CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang