MOZAIK 15

24.3K 1.3K 38
                                    

MOZAIK 15
***

Charlotte mengunyah makanannya perlahan. Dia menatap lurus dan polos ke arah Sara.

"Ada apa?" tanya Sara khawatir.

"Sudah berapa lama aku disini?"

"Eh?"

"Jawab aku, Kak. Sudah berapa lama aku disini?"

Sara terlihat bingung, ia hanya mengangkat bahunya pelan. "Aku tidak tahu. Aku bertemu denganmu saat ... Saat kau sudah berada disini."

"Cukup lama?"

"Entahlah. Kau bisa menanyakannya langsung pada dr. Darren Dunant."

"Aku tidak gila, Kak. Percayalah," ucapnya meyakinkan. Ia menangkap tangan Sara dan menahan gadis itu agar tidak pergi. "Bantu aku. Ku mohon, bantu aku."

Sara menggigit bibirnya. "Bantu ... apa?"

"Apa aku punya kakak?"

"Mungkin saja ... Err--aku tidak tahu!" jawab Sara jujur. "Aku betul-betul tidak tahu siapa keluargamu, Charlotte."

Charlotte mengangguk. "Apa yang dokter itu katakan padamu Sara?"

"Darren?"

Charlotte mengangguk.

"Tidak banyak. Dia hanya memintaku untuk menyuapimu makan dan jangan menanyaimu macam-macam. Jangan membuatmu tertekan. Aku mengira kau benar-benar lemah, namun ternyata kau sudah terlihat ... Sangat sehat."

"Sudah aku bilang, Kak. Aku bukan gila. Tidak akan dan tidak pernah!" serunya frustasi.

"Lalu mengapa kau disini?"

"Aku sama bingungnya denganmu. Terakhir kali aku disini, sadar, rasanya sudah lama sekali."

"Memang lama sekali," sahut Sara. "Terakhir aku melihatmu sadar ..." Kalimatnya menggantung.

"Kapan?"

"Tiga--sampai lima tahun yang lalu. Aku lupa," jawabnya.

Charlotte terperanjat. "Itu lama sekali!"

"Apa kau yakin tidak ada keluargamu yang pernah menengokmu lagi?"

Charlotte baru saja ingin menggeleng ketika kilas balik ingatan yang bertubi-tubi menyerangnya. "Aku punya. Tentu saja aku punya keluarga!"

Sara terperangah, merasa kondisi gadis didepannya ini sudah pulih. "Benarkah?"

Charlotte mengangguk. "Ya. Aku memiliki Ibu, Ayah, dan seorang kakak."

"Kau mengingat semuanya," lirih Sara.

"Aku hanya lumpuh, Kak. Dan....sedikit depresi mungkin?"

Sara hanya diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena penyakit Charlotte sendiri tidak terlalu ia ketahui.

Sara kemudian mengajukan sebuah ide untuk Charlotte. "Mungkin sudah saatnya kau berbicara serius dengan dokter Darren."

***

Rebecca memasuki rumah sakit yang besar itu dengan anggunnya. Semenjak ia memasuki lobi rumah sakit, hujan pandangan mata sudah ia terima. Ada sorot kagum, penasaran, iri, dan memuji yang ia dapatkan. Walaupun ia mencoba bersikap cuek, namun tak dapat dipungkiri bibirnya menarik sebuah garis senyum angkuh.

Perempuan itu memasuki lift. Bahkan orang-orang di dalam lift yang sama dengannya juga tahu bagaimana perpaduan merek parfum terkenal yang begitu elegannya. Manis namun juga segar sekaligus sensual.

Heels, Tux And CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang