Mozaik 10
***
Cameron memasuki ruang kerjanya dengan senyum yang mengembang. George, asistennya, mengikuti lelaki itu dari belakang. Di tangannya ada sebuah map tebal dengan banyak tumpukan kertas didalamnya.
Cameron duduk di kursi kekuasaannya. Kedua tangannya bertumpu di meja dan tatapan matanya memandang lurus ke depan. Senyuman pria itu masih belum hilang.
"Sepertinya Anda sudah mempunyai rencana, Tuan."
Cameron mengangguk. Ia lalu menghapus senyumnya dan berekspresi serius. "Tentu saja."
"Anda sudah mempunyai banyak bukti kejahatan Tuan Bernard dan putrinya."
Itu bukanlah pertanyaan, namun sebuah pernyataan dari mulut George.
Cameron menggeleng, ia memutar kursinya seratus delapan puluh derajat, ke arah pemandangan yang terpampang jelas di balik kaca transparan -yang menampakkan suasana sibuk kota metropolitan-, membelakangi George.
"Anda tidak berniat untuk langsung menyerangnya?"
"Tidak." Ada nada amarah dibalik suara rendah milik Cameron. "Dia akan semakin berbahaya jika dengan serangan langsung."
"Posisi Anda saat ini sangat aman. Mereka belum tahu dimana Nona berada."
Cameron mendesah pelan. "Hanya untuk saat ini. Mereka akan tahu. Secepatnya."
"Anda harus segera mengembalikan adik Anda, Tuan."
Cameron menatap nanar ke depan. "Jika bisa, aku akan melakukannya."
George menghela nafasnya, kemudian tersenyum pengertian. "Ya, saya mengerti."
Cameron lalu memutar kursinya, kembali menghadap George. "Tetap sembunyikan adikku. Jangan sampai ada informasi yang bocor."
George mengangguk patuh. "Apa kita harus melakukan pemeriksaan bergilir lagi kepada para petugas? Untuk meminimalisir potensi pembelot."
Cameron menggeleng. "Tidak perlu. Itu akan semakin memunculkan kecurigaan di lingkungan rumah sakit. Aku tak ingin mereka bergosip tentang adikku."
"Jadi Anda akan tetap merahasiakan keberadaan nona?"
Cameron menghembuskan nafasnya pelan. Kepalanya mengangguk seiring dengan sebuah senyum miris terukir dibibirnya.
"Lindungi adikku dari ular berbisa itu. Lindungi Charlotte..."
Sorot mata Cameron berubah kelam.
"Dan perkuat keamanan di sekeliling istriku. Jangan sampai lengah untuk perlindungan Sara..."
***
Sara baru saja selesai mencuci piring ketika telepon rumah berbunyi. Sontak gadis itu langsung berlari menghampiri benda yang menjerit keras tersebut. Detik berikutnya dia sudah menekan tombol jawab dan menempelkannya di telinga.
"Kediaman Frances."
Ada sedikit rasa canggung tatkala dia mengucapkan dua kata tersebut. Ya, itu memang benar. Ini adalah penthouse Cameron. Dengan kata lain, ini adalah kediaman seorang Frances. Termasuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heels, Tux And Curse
ChickLitSara Rose, mencintai koleksi sendal jepitnya melebihi apapun. membenci semua hal berbau parlente, high heels, dan musuh yang mempermalukannya dengan sepasang sepatu hak tinggi -tidak lain teman masa kecil yang menyebalkan, Cameron Frances. Cameron F...