MOZAIK 16

28.4K 1.5K 37
                                    

MOZAIK 16
***

Banyak survey yang mengatakan jika bercinta setelah bertengkar hebat itu dapat meminimalisir potensi perpisahan antar pasangan dan berpeluang memperbaiki hubungan. Namun, survey itu ternyata bisa saja salah.

Sekarang, di atas ranjang. Masih dengan penampilan berantakan dan wajah ditekuk, sepasang suami istri tersebut, Sara dan Cameron, duduk saling bersebelahan dan sama-sama melipat kedua tangan di depan dada protektif.

"Aku takkan meminta maaf." Cameron memulai pembicaraan. Memecah keheningan yang terjadi selama setengah jam tersebut.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi ketika mereka bangun setelah semalaman bergulat dengan percikan nafsu dan gairah berbalut amarah. Saat tubuh keduanya masih bugil, polos sepolos-polosnya, tanpa satu helai benangpun, toh aura permusuhan itu masih tetap ada. Sama-sama kepala batu.

Entah mereka berdua idiot, gila, atau terlalu sombong, seolah percintaan tadi malam hanyalah kesalahan semalam saja, seperti terlupakan dalam waktu sekejap. Bagai mengedipkan mata. Padahal mereka sadar betul akan kenikmati surgawi itu. Yang mereka dapatkan di puncak setiap penyatuan. Berkali-kali hingga tulang keduanya serasa rontok. Sampai seluruh badan mereka sakit. Tetapi tak satupun yang berhasil mengenyahkan permusuhan yang sudah terjadi.

"Aku hanya meminta jawabanmu sejak semalam." Sara tak mau kalah.

"Ck. Kau takkan pernah mendapatkannya."

Sara mengembuskan nafasnya perlahan. "Aku akan terus mencobanya."

"Jangan harap."

Keheningan itu kembali terjadi. Kali ini keduanya asyik bekerja sama dengan pikiran masing-masing. Ego yang mengakar dan perasaan tak mau kalah keduanya adalah penyebab utama mengapa masalah ini takkan pernah berakhir. Tak ada yang mau menurunkan harga diri dan mengalah.

"Kita akan bercerai." Cameron akhirnya mengatakan hal mengerikan itu.

Sara terhenyak. Namun sedetik kemudian ia dapat menutupinya dengan sempurna. Hatinya mencelos. Tubuhnya melemas dan kakinya seperti jelly. Ia berani bertaruh bahwa saat ini dia takkan bisa berpijak dengan tegak di tanah.

"Kau takkan merasa rugi. Aku yang akan menceraikanmu," lanjut Cameron. "Bukankah ini yang sedari dulu kau inginkan? Kau dapatkan uangnya dan pergilah dari hidupku selamanya," sindir Cameron sarkatik.

Hati Sara sebenarnya menolak mentah-mentah keputusan itu. Dia tidak mau. Dia masih ingin bersama pria itu. Tapi apa daya, dia sangat tahu, jika Cameron sudah mengatakannya, maka hasilnya sudah mutlak.

"Aku tidak bisa."

Cameron mengernyit. Ia menoleh ke arah Sara yang memandang lulus ke depan. "Kenapa? Kau masih belum cukup memoroti diriku?" tanyanya sinis. Seulas senyum miris ada dibibirnya.

Sara meradang. Gadis itu menoleh cepat ke arah Cameron dan menampar pria itu. Tidak terlalu keras, namun cukup membuat pipi pria itu memerah.

"Dan kau sudah berani menamparku. Ck." Cameron menyeringai penuh sarkasme. "Belum juga kau resmi menjadi janda Frances."

"Aku belum menyelesaikan urusanku," kilah Sara.

"Memangnya ada urusan apa kau disini, hmm?" tanyanya dingin.

"Bukan menjadi urusanmu!" balas Sara sebal dan langsung menarik selimut kemudian melilitnya di tubuh bugil gadis itu. Dia membelakangi Cameron, yang refleks menutupi organ vitalnya dengan bantal karena selimut itu telah direnggut Sara.

Gadis itu berhenti, tanpa berbalik sedikitpun.

"Tetapi akan aku pastikan. Setelah urusanku selesai, aku akan pergi darimu, suamiku."

Heels, Tux And CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang