MOZAIK 22

29.1K 1.5K 54
                                    

10 of August
10.08AM

***

MOZAIK 22

***

Sara menyusuri lobi hotel yang mewah itu dengan sendal jepit Louis Vuitton warna hitam miliknya. Langkahnya santai, cenderung lambat meskipun wajahnya sedang ditekuk.

Senyuman manis seorang resepsionis menghentikan langkah kaki Sara. Tepat di depan meja resepsionis.

"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanyanya ramah. Masih menyunggingkan senyum manisnya.

"Aku ingin memesan kamar," jawab Sara datar. Tanpa senyum sedikit pun.

"Kamar tipe apa, nyonya?"

Sara mengedip, "president suite room."

Resepsionis itu terlihat mengetikkan sesuatu di keyboard komputernya. "Atas nama?"

"Sara Rose."

Bukannya bodoh, hanya saja resepsionis itu termangu dengan kalimat Sara barusan. Dia menjadi menebak-nebak tentang nyonya dihadapannya itu. Belakangan gosip perceraiannya memang santer terdengar. Sebenarnya bukan dirinya yang terkenal, hanya saja dia yang menikahi orang yang sangat terkenal.

"Untuk berapa lama, Nyonya?"

"Aku akan check out besok."

Resepsionis itu mengangguk. Dia kemudian menginput data tamunya tersebut. Gadis itu tersenyum manis, kemudian mendongak menatap Sara.

"Kamar nomor 1106, lantai sebelas." Resepsionis itu masih tersenyum, "Anda ingin langsung check in?"

Sara mengangguk. Setidaknya dia perlu waktu dulu untuk mempersiapkan diri bertemu dengan tamunya kelak.

"Ini." Resepsionis itu menyerahkan kunci kamar pada Sara. Dia kemudian teringat akan suatu hal, "apa Anda punya tamu nanti?" tanyanya malu-malu.

Sara tersenyum miring saat mengambil kunci hotelnya. "Ya. Jika dia berkenan, mungkin akan menanyakannya padamu dimana kamarku."

Resepsionis itu mengangguk. Sebuah senyum samar tapi malu-malu muncul dibibirnya ketika membayangkan siapa tamu dari tamunya tersebut. Melihat itu, Sara hanya mendecih jijik. Dia begitu heran mengapa banyak wanita lain yang masih mengharapkan pria itu, padahal jelas-jelas pria itu sudah berkomitmen.

"Terima kasih, Nyonya Rose. Semoga Anda menikmati pelayanan kami." Resepsionis itu tersenyum akrab. Dia menganggukkan kepalanya kecil dan mengantar kepergian Sara dengan penasaran.

***

Tidak pernah ada yang tahu, jika dibalik tembok bercat putih itu, tinggal salah seorang saksi kunci semua masalah yang mereka hadapi saat ini.

Dia duduk di sudut kamarnya. Baju piyama miliknya sudah kusut dan rambutnya yang panjang sedikit berantakan. Kantong matanya menghitam dan dia terus-menerus menangis.

"Maafkan aku, sayang. Maafkan aku." Ia menangis kencang. Beberapa barang sudah jatuh berhamburan ke lantai ketika ia mengamuk.

Heels, Tux And CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang