MOZAIK 18
***
"Jadi bagaimana keadaanmu sekarang Charlotte?"
Pertanyaan itu muncul dari Julius Bernard, yang kini duduk di kursi paling kanan di ruang pertemuan keluarga yang mirip dengan ruang meeting sebuah kantor tersebut.
Charlotte, berdiri di depan mimbar, dengan wajahnya yang masih sedikit pucat, menatap ke penjuru ruangan dan mengabsen setiap anggota keluarga dengan pandangannya. Ia hanya memberikan senyuman tipis pada Julius. Senyuman penuh tipu daya yang sudah di ajarkan kakaknya sebelum mereka sampai di tempat ini.
"Tentu aku baik-baik saja, Paman." Ada jeda dalam kalimatnya, "Puji Tuhan, aku sehat. Kalian bisa melihatnya, bukan?" Oke, dia agak berbohong dibagian ini.
"Sehat, apanya? Kau masih lumpuh," cibir Julius.
"Memang benar," jawab Charlotte datar. Tanpa emosi. "Maka dari itu aku masih perlu wali asuh."
"Kau sudah memenuhi syarat tanpa perwalian, Charlotte," kata salah seorang bibinya.
Walaupun Emily dan Julius hanya dua bersaudara. Tetapi mereka punya banyak sepupu yang menyebabkan Charlotte memiliki bibi dan paman lainnya.
"Sudah saatnya kau tanpa wali," perintah Julius. selalu saja ikut berbicara. "Kenapa? Apa kau tidak sanggup?"
Charlotte tersenyum miring. Ini dia pertanyaan yang paling sering diulang oleh Cameron untuk persiapan mereka.
Gadis itu menggeleng kuat. "Aku sanggup, Paman. Tenang saja. Hanya aku perlu beberapa saran dan nasihat nantinya."
Di kursi bagian kiri, Cameron duduk sambil memandang remeh Julius karena usahanya sudah berhasil. Bukannya dia ingin ikut campur masalah Charlotte, dia hanya merasa bahwa adiknya pantas mendapatkan warisan dari kakeknya.
"Oke, jika kau ingin mendapatkan perwalian. Tetapi dalam konteks ini..." Julius menyeringai. "Yang berhak menjadi walimu sekarang hanya ibumu atau Rebecca."
Charlotte masih mengingat hal itu. Cameron juga yang membuatnya tahu. "Kalau begitu aku tak perlu wali." Ia tahu meskipun bisa memilih ibunya, itu tidak menjamin posisinya aman. "Aku bisa sendiri."
Oke, kali ini Julius sudah mulai kalah. Saatnya memainkan bilah belati lain yang telah dipersiapkan Cameron untuknya jauh-jauh hari.
"Bagaimana dengan penyakitmu?" tanya Julius sinis.
"Aku baik," jawab Charlotte. "terima kasih sudah mengkhawatirkanku selama ini."
Cameron mengulum senyum. Dia menyadari tatapan Rebecca yang tertuju padanya. Mungkin gadis pirang itu terpesona melihat senyumannya yang misterius. Cameron sontak melihat Rebecca dan memberikan tatapan menantang. Rebecca membalasnya dengan anggukan kecil.
"Sebenarnya aku setuju saja jika Charlotte tak ingin seorang wali."
Pernyataan Rebecca begitu mengejutkan semua orang. Apalagi Julius dan beberapa bibi serta paman yang lebih mendukung mereka. Jelas saja gadis itu langsung dihujani tatapan marah.
"Aku hanya cucu perempuan dari anak lelaki. Ingat?" Rebecca membongkar fakta. "Apa kalian tidak bisa membaca? Disana tertulis hanya cucu perempuan dari anak perempuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heels, Tux And Curse
ChickLitSara Rose, mencintai koleksi sendal jepitnya melebihi apapun. membenci semua hal berbau parlente, high heels, dan musuh yang mempermalukannya dengan sepasang sepatu hak tinggi -tidak lain teman masa kecil yang menyebalkan, Cameron Frances. Cameron F...