29

2.6K 385 16
                                    

"Jadi kamu nggak hamil?" Suara Sangga kedengaran agak kecewa malam itu.

Setelah kembali ke rumahnya, Mora tidak diizinkan lagi keluar. Untunglah ponselnya tidak diambil juga oleh papanya seperti dulu. Karena, kalau papanya benar-benar mengambil ponselnya, Mora tidak akan pernah ragu untuk melawan dan meminta Sangga untuk membawanya pergi. Mora bahkan siap meninggalkan kota, tidak mau tahu lagi soal pernikahan Verdion jika hal itu sampai terjadi. Apa pun yang menghalanginya, Mora bersedia menghancurkannya agar ia bisa bersama dengan Sangga.

Perempuan itu duduk di balkon kamar lamanya, menatap langit malam yang tak begitu cerah sambil meringis pelan. Uh, apa Sangga lebih senang kalau dirinya hamil saja? Mora memang berpikir untuk punya anak dari Sangga, tapi kalau mau punya anak, mereka harus lebih sering berhubungan badan, 'kan? Sedang sampai sejauh ini, mereka baru enam kali melakukannya. Dua kali saat di rumah Sangga, dua kali di rumah Mora, dua kali semalam.

Apa Mora pergi ke dokter kandungan saja untuk tahu mulai merencanakan kehamilan?

"Aku cuma bilang begitu karena nggak mau dijodohkan sama cowok lain," balas Mora pelan. "Maaf, ya?"

"Kok minta maaf?" tanya Sangga lembut.

"Soalnya, kamu kedengaran kayak kecewa gitu. Apa kamu mau aku sekali lagi? Nanti aku ke dokter dulu buat minta vitamin sama cek masa subur biar hamil."

Sangga tertawa lembut. "Aku sedikit kecewa, tapi begini juga lebih baik. Lagian, kita 'kan harusnya nikah dulu baru mikirin punya anak, Mora. Kalau kamu begini nanti papamu makin mikir jelek soal kamu."

Mora rasa, sejak ia lahir juga kesannya sudah buruk di hadapan orang tuanya. Ia sudah tidak peduli sekarang, karena ia punya Sangga. Namun, ucapan Sangga ada benarnya. Mungkin lebih baik kalau ia bersabar. Ia tidak boleh membuat Sangga mendapat kesan buruk juga. Mora tahu ia tidak akan bisa menahan emosinya jika Sangga diperlakukan oleh keluarganya seperti mereka memperlakukan Mora. Cukup Mora saja yang selalu mereka cibir, Sangga tidak boleh.

"Aku udah ngomong sama orang tuaku. Mungkin besok malam kami akan datang."

"Aku mau ketemu kamu malam ini," gumam Mora pelan, sedikit menggerutu karena sebal ia dan Sangga lagi-lagi tidak bisa bertemu. Padahal, baru juga sehari Mora melepas rasa rindunya pada Sangga.

"Sabar, Mora. Aku juga mau ketemu kamu sekarang, tapi aku nggak mau bikin papamu tambah marah. Nggak bagus kalau calon mertuaku nggak suka sama aku."

Mora tersenyum tipis saat mendengar kata calon mertua terucap dari mulut Sangga. Oh, lelaki yang dahulu selalu tantrum karena ia goda, sekarang ingin kelihatan tampak baik di depan orang tuanya. Kalau di novel-novel, bukankah sikap Sangga ini yang dinamakan dengan perkembangan karakter? Mora mengulum senyumnya yang semakin merekah lebar. Ia senang sekali.

"Ra?"

Mora menoleh ke arah kamarnya. Itu suara Verdion. Ia masih ingin bicara dengan Sangga, tapi Verdion kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil namanya. Mora menarik napas panjang.

"Sangga, Kakak manggil aku. Nanti aku telepon kamu lagi, ya?"

"Iya." Suara Sangga terdengar lembut. "Telepon aku kalau kamu perlu aku. Kapan pun kamu telepon, aku pasti ada."

Mora mengulum senyum kasmaran. Rasa suka dan sayangnya untuk Sangga semakin tumbuh. Mora pikir, ia sungguhan sudah mencintai Sangga sekarang. Rasanya, ia tidak bisa bernapas kalau tidak ada lelaki itu.

"Eum. Dadah, my baby boy." Mora sedikit menggoda Sangga dengan panggilan yang selalu membuat lelaki itu tantrum.

Alih-alih tantrum, Mora mendengar Sangga tertawa rendah. Suara tawanya halus sekali, sampai Mora pikir ia harusnya merekam suara tawa Sangga dan menjadikannya nada dering.

Romancing The RancherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang