Sangga menatap Mora yang terlelap. Tubuhnya dipenuhi dengan bekas ini dan itu, sedang wajahnya tampak lelah. Lelaki itu berbaring dengan posisi miring di sebelah Mora, dengan hati-hati menyentuh pipinya. Perasaan Sangga sedikit tak karuan pagi ini. Ia pikir, ia lepas kendali lebih parah dari saat pertama mereka melakukannya. Mora bahkan sampai tertidur dan melewatkan makan malamnya saking perempuan itu kewalahan meladeni Sangga.
Walau begitu, Mora tetap setangguh biasanya. Ia bisa bertahan, meski sudah kelelahan. Berusaha tetap terjaga meski ia hampir kehilangan kesadarannya saking letihnya. Sangga menggigit bibir dengan perasaan malu dan tak enak. Rasanya, ia hampir menelan Mora semalam.
Lelaki itu menurunkan tangannya menuju tangan Mora yang terkulai di atas bantal. Dengan hati-hati, Sangga menggenggamnya lembut. Matanya masih mengamati wajah Mora lekat. Lelaki itu merah lagi saat memikirkan tingkahnya semalam. Baik dirinya maupun Mora sama-sama kehilangan akal sehat karena terlalu merindukan satu sama lain. Mereka juga, sekali lagi (bukan satu kali sebenarnya) bercinta tanpa alat kontrasepsi.
Meski Mora berkata bahwa ia tidak masalah, tapi Sangga khawatir. Ia tidak mau Mora punya citra buruk di depan keluarganya atau keluarga Sangga karena hamil duluan. Banyak hal yang Sangga khawatirkan kalau sudah menyangkut Mora. Tapi, yang dikhawatirkan kelihatannya sama sekali tidak peduli. Ia malah terlelap seperti bayi sekarang.
Sangga tersenyum tipis, melepaskan genggamannya dari tangan Mora dan beranjak untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di karpet. Ponsel itu sebenarnya ada di saku celana Sangga, tapi sepertinya ia jatuh keluar saat Sangga melemparkan celananya kemarin sore. Sangga tidak mau mengingat betapa ia bertingkah seperti hewan buas kemarin, tapi kepalanya terus berputar untuk mengingatkannya akan hal itu. Wajahnya memerah lagi. Setengah mati ia menenangkan dirinya selagi ia mencari nomor ayahnya di ponsel. Ia setidaknya harus mengabari ayahnya bahwa ia kembali ke Parama. Juga, ia akan meminta ayahnya untuk ikut serta bersama dengannya saat bertemu dengan Adiano Wijanarko.
"Sangga? Kenapa, Nak?"
"Ayah, Sangga sekarang di kota," jawab Sangga dengan nada tenang dan suara pelan.
"Oh ... hah? Kamu di kota? Kok nggak kasih tahu Ayah?"
"Ini Sangga kasih tahu Ayah." Sangga merendahkan suaranya sambil melirik Mora. "Sangga mau minta izin sama Ayah. Sekalian, Sangga juga mau melamar perempuan."
"Melamar? Kamu punya pacar?"
Sangga mengulum senyum malu. "Iya, Yah. Dia anaknya Pak Adiano Wijanarko. Sangga niatnya mau melamar Mora."
"Mora ... Mora? Ah, yang dulu magang di perusahaan kita? Ya ampun, Nak! Ayah senang kalo kamu punya pacar begini. Biar Ayah hubungi dulu Pak Adi."
"Nanti dulu, Yah. Sangga bisa hubungi Pak Adi sendiri."
"Ya sudah. Kamu nggak balik ke rumah?"
"Nanti Sangga balik bawa Mora, Yah. Sekarang Sangga masih di hotel."
"Sama Mora?"
"Sendiri, Yah," bohong Sangga, malu kalau memberi tahu bahwa ia sedang bersama Mora sekarang.
Namun, suara Sangga yang agak bergetar dan kedengaran gugup tak luput dari pendengaran ayahnya. Setyo Lukman terkekeh rendah, menertawai kebohongan Sangga yang terlalu jelas.
"Iya, Ayah tahu. Nanti malam datang sama Mora, ya?"
"Iya."
"Ayah tutup dulu teleponmu, Nak. Sekalian Ayah mau ngabari ibu sama adikmu. Aduh, anak Ayah akhirnya ada yang nggak single lagi, loh."
Sangga memerah, menggumamkan kata iya dengan malu-malu. Telepon terputus. Sangga melirik Mora lagi yang masih lelap dalam tidurnya. Haruskah ia bangunkan Mora untuk sarapan? Perempuan itu belum makan apa-apa sejak semalam. Sangga takut Mora masuk angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romancing The Rancher
ChickLitSangga tahu kalau jatuh cinta pada Mora akan membuatnya menjadi bukan dirinya. Akan tetapi, mana sanggup Sangga mengendalikan hatinya yang entah sejak kapan selalu tertuju pada Mora?