Langkahku berjalan cepat. Aku bahkan tak bisa menahan gemetaran di tanganku seiiring jantungku yang terus berdetak kencang.
Aku tahu aku akan merasakan penyesalan atas segala kata yang keluar dari mulutku tadi. Biarlah aku menjadi pembunuh pertama disini, aku pun tak bisa membantah kenyataan bahwa aku penyebab kematian pertama.
Tapi, ya Tuhan. Ini menyakitkan sekali. Sesak sekali saat tenggorokanku dan mulutku melukai anggota Osis.
Tanganku terangkat dan nengusap kasar air mata yang mengalir di pipiku. Sialan, semuanya sialan.
Biarlah jika aku harus bergerak sendiri. Aku akan berjalan sendiri dan membiarkan mereka berjalan dengan kubu mereka sendiri.
Langkahku yang entah membawa aku kemana kini berhenti di depan kelas kosong. Aku mengatur napasku yang tersengal-sengal. Diiringi tangisanku yang terdengar seperti merasakan sesak yang teramat sangat.
Seharusnya aku menjelaskan dari awal. Seharusnya aku tidak mencoba menyembunyikannya seperti ini. Ah, aku benci mengucapakan kata 'seharusnya' yang tak kunjung habis.
"Aneth!"
Suara yang ku kenal, dengan beberapa langkah kaki yang menandakan beberapa orang kini berjalan ke arahku.
Itu Artha, aku bahkan baru menyadari tindakanku saat meninggalkan Artha. Ini pertama kalinya aku meninggalkan laki-laki itu.
Namun sungguh, saat ini aku sedang tak menginginkan dirinya berada di sisiku. Aku merasakan kecewa yang aku sendiri tak bisa mengerti.
Langkah mereka kian mendekat. Dan aku tak berniat untuk kabur, mungkin saat ini aku hanya akan diam saja untuk mendengarkan segala tuduhan dan amarah mereka.
Tangan kananku yang semula gemetaran hebat, kini direngkuh hangat oleh telapak tangan yang jauh lebih besar.
"Neth, sorry." Suara lain yang aku kenali kini menyebut namaku dengan napas tersenggal. Itu Killa, sosok dengan emosi yang selalu menggebu-gebu.
Dengan perlahan aku berbalik, menatap mereka dengan datar. Aku menunggu ucapan yang akan mereka lontarkan. "Apa?" sinisku.
Namun aku cukup terkejut, anggota Osis yang berada di depanku tak hanya Artha dan Killa. Jian, dan Rena kini terlihat mengatur napasnya di depanku.
Artha berdiri di depanku, menatapku dengan khawatir. "Calm down, please." sesalnya seraya menggenggam tanganku dan masih berusaha nengatur napasnya.
Aku menatapnya tajam tanpa membalas ucapannya. "Is that you, Tha?" Akhirnya, tuduhan pertamaku selama aku hidup di samping Artha terlontar di situasi ini. Aku takut jika tuduhan ini benar, sungguh aku takut.
Tolong katakan tidak, Artha. Beri aku kesempatan untuk menuduh orang kedua yang juga mengetahui fakta mengenai kematian pertama.
Namun bukannya menjawab, laki-laki di depanku kini menatapku terkejut. Ia mengerutkan alisnya tak percaya dengan mata yang menatap tajam saat mendengar ucapanku. "What do you mean with 'is that me'?"
"just answer me. Tolong jawab sesuai ekspektasi gue, Tha."
"Are you kidding me?"
Kenapa Artha semakin berputar? Jika memang tidak, bukankah ia hanya perlu mengatakan tidak? Kenapa ia mengatakan sesuatu yang hanya semakin memperpanjang saja? Bahkan ini semua membuat Rena, Killa, dan Jian semakin membeku di tempat mereka berdiri. Aku benci Artha yang semakin memperumit pikiranku.
"i said, just answer me." geramku semakin menuntut Artha.
Namun bukannya menjawab, Artha kini melepaskan genggaman hangat di tanganku dan tertawa garing. Ia menoleh ke arah lain dan memandangku seolah tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik
Teen FictionAneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan nyawa dan mental...