Bab 5: how to get food.

170 46 13
                                    

Suara lorong sekolah terdengar ricuh. Seluruh anggota Osis berjalan bersama menuju kantin dengan palu yang mereka ambil dari lemari ruang Osis. Mereka menjalankan ide yang disarankan oleh Aneth setelah berunding selama beberapa waktu.

Tak jarang tawa mereka pecah, merasa ini adalah pengalaman pertama sekaligus paling aneh yang pernah mereka alami. Aneth, yang berdiri di barisan paling belakang, ikut tertawa puas melihat tingkah konyol teman-temannya.

Kantin sekolah ini memiliki konsep seperti restoran dengan hanya satu penjual. Minibar panjang menjadi pembatas antara dapur dan meja makan siswa. Berbeda dengan kantin sekolah lain yang biasanya memiliki beberapa ruko atau lebih dari satu penjual, di sini hanya ada satu yang setiap harinya memasak menu berbeda.

Beruntungnya, meskipun begitu, kantin ini tetap menyediakan banyak makanan, mulai dari camilan hingga makanan berat.

Mereka berhenti di depan rolling door besar yang menjadi pintu masuk kantin.

Stefan berjongkok, mencoba menariknya ke atas, tapi seperti yang sudah mereka duga, pintu itu terkunci rapat dengan gembok yang cukup besar.

Jian, yang berdiri di samping Stefan sekaligus memegang palu, memberi isyarat agar semua orang mundur. Ia mengambil posisi membungkuk dengan palu terarah tepat ke gembok yang terkunci.

Lalu—

“Duk! Duk! Duk!”

Suara pukulan terdengar berulang kali. Jian menghantam gembok dengan keras, lebih dari sekali. Hingga pada pukulan keenam, kaitan gembok itu hancur. Kini rolling door sudah bisa dibuka ke atas.

Sorakan bahagia langsung memenuhi lorong. Mereka bergegas masuk ke dalam area kantin, berpencar untuk melihat setiap sudut ruangan.

Namun, semakin lama mereka memperhatikan isi kantin, semakin aneh rasanya. Kantin ini dipenuhi dengan bahan makanan, seolah sudah disiapkan untuk mereka.

Aneth berjalan ke arah meja kasir, tempat di mana ia kemarin berbicara dengan Bibik kantin. Ia menunduk dan melihat kardus berisi Pop Mie masih tersusun rapi di sana. Ingatannya kembali ke percakapan kemarin—

"Semua ini sudah disiapkan untukmu."

Apakah yang dimaksud Bibik adalah sekarang?

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, memperhatikan gerak-gerik teman-temannya. “Teman-teman, setelah makan nanti, kita kumpul kayak kemarin, ya.” ucapnya, berusaha untuk tetap terlihat santai di depan CCTV yang terpasang di pojok kiri ruangan.

Sontak mereka menjawab serempak, “Siap!”

Di lemari es kantin, mereka menemukan berbagai buah, sayuran, dan lauk pauk yang tersimpan rapi. Semuanya lengkap, seolah ada seseorang yang memang ingin mereka tetap bertahan di sini.

Aneth mengepalkan tangannya. Matanya terasa panas, nyaris menangis saat membayangkan betapa kejamnya dalang di balik semua ini.

Ya, sekarang ia semakin yakin bahwa apa yang dikatakan Kepala Sekolah kemarin benar-benar terjadi.

Hanya saja, Aneth memilih diam. Ia ingin mencari jalan keluar dengan caranya sendiri. Namun, ia juga tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus memberi tahu Zerina dan Jian—ketua serta wakil Osis—tentang pikirannya ini.

Tapi bukan sekarang.

Ia tidak ingin menghancurkan suasana bahagia yang akhirnya bisa mereka rasakan lagi.

“Aneth, sini makan!” Zara menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Aneth melirik ke arah orang yang duduk di sebelah Zara. Stefan. Tangannya menggenggam tangan Zara.

Pasangan serasi.

“Gak dulu, gue gak mau jadi nyamuk.” Tolaknya santai, lalu berjalan ke arah Rena dan duduk di sampingnya.

“Yang mau makan mie siapa aja? Gue mau masak.” Zerina bertanya, dan seperti yang sudah bisa ditebak, semua langsung bersorak setuju.

Aneth yang awalnya hendak mengangkat tangan, tiba-tiba merasa tangannya ditahan. Ia menoleh dan melihat Artha sudah duduk di sampingnya.

“Gak usah makan mie lagi. Dari kemarin lo udah mie mulu.” ucap Artha.

“Terus, apa peduli lo?” Aneth mendengus. “Udah deh, gak usah rese. Gue pengen yang praktis.”

“Ya udah, gue yang masakin. Biar praktis.”

Plak!

Sebuah tepukan mendarat di bahu Artha, membuatnya meringis. “Yang bener kalo ngomong!” sinis Aneth.

Artha mengusap bahunya. “Gue serius! Gini-gini gue masih bisa masak makanan enak, ya.” balasnya, tak terima dengan tatapan meremehkan Aneth.

“Duh, panas banget ngeliat sana-sini banyak yang pacaran. Mentang-mentang gak ada guru, jadi bebas, ya?”

Entah sejak kapan, Anias sudah duduk di depan mereka dengan sepiring nasi goreng di tangannya.

“Tuh, Nias aja makan nasi, lo malah mau makan mie.” Artha kembali membujuk.

“Lo gila makan mie lagi, Neth? Meskipun kita partner makan mie, gue masih sayang nyawa gue, gak kayak lo.” tambah Anias.

Aneth menghela napas panjang. “Iya, iya. Ini makan nasi.”

“Oke, gue masakin.”

Aneth ingin mencegah, tapi Artha sudah lebih dulu berlari ke dapur.

“Wah, Artha gak pernah nyerah kalo soal lo.” goda Anias.

Aneth hanya melirik malas.

---

Mereka selesai makan. Setelah itu, mereka berbondong-bondong naik ke lantai atas, kembali ke ruang Osis.

Dari sekian banyak CCTV yang tersebar di sekolah, hanya ruang Osis yang tidak memilikinya. Hanya ada satu di depan pintu ruangan.

Entah apa alasannya, tapi Aneth merasa sedikit lebih nyaman karena hal itu.

Ia duduk di samping Zerina yang tampak melamun.

“Zer.” panggilnya pelan.

Lamunan Zerina buyar. “Lo nggak tidur, Neth?” tanyanya.

Aneth menunduk. Matanya mulai memanas, air mata menggenang di pelupuknya. Ia tahu mungkin ini akan menambah beban Zerina, tapi... ia benar-benar butuh sandaran.

“Gue tau, Neth.” gumam Zerina.

Ia menarik tangan Aneth, lalu mendekapnya. “Kita pasti bisa keluar. Ini cuma sekolah, kan? Gak ada yang berbahaya di sekolah yang selama ini kita bela mati-matian. Gue yakin.”

“Gue takut, Zer.” bisik Aneth.

Zerina tidak menjawab. Ia hanya bisa mengelus punggung Aneth, menenangkan tangisannya.

---

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam. Mereka kembali duduk melingkar.

“Teman-teman,” Zerina akhirnya membuka suara. “Kalian pasti udah sadar, kan?”

“Zer, kita semua gak sebodoh itu buat gak sadar.” sahut Zico.

Zerina menunduk. “Maaf, kalau usaha kalian nunggu ternyata sia-sia.”

“Kata siapa sia-sia?” Jian menimpali. “Kita cuma butuh waktu lebih.”

“Bener, besok festival band. Gak mungkin panitia malah gak ada, kan?” tambah Rena.

Zerina tersenyum. Melihat teman-temannya tetap positif, membuatnya yakin.

“Baik. Kita tunggu beberapa waktu lagi, ya.”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Re-publish untuk atur ulang alur. 

Terimakasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini, semoga antusias kalian tidak berkurang. Have a nice day!

12 Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang