'brak'
Tangan kanan Artha menghantam meja dengan keras. Melupakan kaki kanan Aneth yang berada di pangkuannya tadi. "Bajingan, seharusnya lo siksa orang itu dulu, Ji!" marahnya dengan wajah merah padam, juga mata yang tampak tajam memandang ke Jian.
Sungguh, di mata Aneth sekarang wajah Artha mirip dengan tomat lebay yang sering ia tonton di YouTube.
"Akh, sakit Tha!" geram Aneth yang tumitnya terbentur kursi lantaran kaki Artha tak bisa diam.
Sontak Artha yang tadi terlihat marah langsung menyusut begitu saja. Dia memposisikan kembali kaki Aneth dengan baik, "Astaga, maaf." ucapnya seraya memijat tumit Aneth.
Benar, secepat itulah perubahan Artha jika itu berhubungan dengan Aneth.
Jian menghela napas berat. Baginya melihat Artha yang bertingkah aneh itu sudah hal yang biasa. "Lo mau gue nyiksa gimana lagi? Itu tangannya udah ditembak dua-duanya sama Aneth."
"Potong dua tangan sama lidahnya." timpal Killa tak kalah kejam.
"Gue gak mau baju gue makin kotor kalo kena darah dari lidahnya."
"Yauda mana mayatnya, gue potong-potong terus gue gosongin dulu pake listrik. Baru gue lempar ke depan pintu OrGar."
Jian mengalihkan tatapannya ke arah Artha, matanya menatap wajah Artha seolah baru saja mendengar ucapan yang lebih gila dari psikopat. "Gila, lo nyiksa orang mati cuman bakal ngotorin tangan lo."
Artha mencebikkan bibirnya kesal. Dirinya sangat marah kala mendengar seseorang berani menyentuh tubuh Aneth, paling tidak Artha harus melihat kedua tangan pelaku terpisah dari tubuhnya. Aneth tidak boleh memiliki trauma yang sama untuk kedua kalinya.
"Terus mayatnya lo taro dimana?" Tanya Killa.
Jian mengangkat satu alisnya ke arah Killa, "Gue taro di lemari kelas pojok, terus gue kunci." Jian menunjukkan kunci yang baru saja diambilnya dari saku celana. "Kenapa? Lo punya ide gila kek si idiot itu?" Jian menunjuk Artha dengan dagunya, menghiraukan tatapan bodoh yang diarahkan Artha padanya.
Dan Killa yang hendak menjawab Jian, kini teralihkan saat mendengar Aneth mendengus.
"Udahlah, lagian udah mati juga." decak Aneth yang merasa lelah dengan perbincangan tak masuk akal dari temannya. Tentu saja Aneth juga masih belum puas, ia masih sangat marah saat tubuhnya dilecehkan seperti itu. Tapi percuma saja, toh pelaku sudah menemui ajalnya. Kematian pelaku merupakan bayaran dari setiap sentuhan tidak senonoh yang diterima Aneth.
"Ini... gue gak salah masuk aliansi yang isinya full psikopat, kan?" terdengar sahutan Rena yang sedari tadi diam mendengar percakapan menyeramkan dari teman-temannya.
Ke-empat temannya sontak menoleh ke dirinya, memperhatikan Rena dengan tatapan polos. Seolah mereka bukanlah orang yang tadi mengucapkan imajinasi menyeramkan seperti tadi.
"Ya... sejujurnya gue juga setuju sama saran Artha."
"KAN! APA GUE BILANG!" Tiba-tiba Artha berdiri dengan bersemangat. Akhirnya ada seseorang yang menyetujui idenya. Dan hal itu kembali membuat Artha melupakan sesuatu.
"SAKIT, ARTHA!" Teriak Aneth dengan wajah yang memerah dan kedua tangannya yang menyentuh paha kaki kanannya guna menahan sakit. "Lo kalo masih marah sama gue, bilang aja, Tha!" ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Pun Artha dengan panik kembali duduk dan meraih kaki kanan Aneth. Namun Aneth menepis tangan Artha menggunakan kakinya, tidak mengizinkan tangan Artha bahkan hanya untuk menyentuh ujung jari kakinya.
"Jangan sentuh!" desis Aneth marah.
Sementara itu, ketiga temannya yang melihat wajah memelas Artha kini hanya bisa menahan tawa. Kapan lagi mereka menertawakan Artha yang kelewat bucin ini?
![](https://img.wattpad.com/cover/325759720-288-k994159.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik
Teen FictionAneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan nyawa dan mental...