Bagian 25 : Maaf yang belum diterima.

36 9 1
                                    

Semua anggota memilih untuk mengikuti tindakan Jian. Mereka berbaring dalam jarak yang dekat, kecuali Artha yang berada di jarak yang sedikit jauh dari empat anggota lain.

Aneth berbaring di bawah meja, menyamping menghadap Killa yang juga tengah menghadap dirinya.

Aneth tau jika ini akan menjadi hal yang berat bagi Killa. Perempuan itu cukup sensitif dan emosinya belum bisa dikendalikan dengan baik. Aneth sudah mengenal Rena, Aneth juga dari awal sudah bekerjasama dengan Jian dan jelas Aneth selalu bersama Artha dalam menghadapi ini semua.

Tapi Killa... perempuan itu masih baru dalan hal ini. Dia merupakan perempuan yang mengikuti naluri perasaannya, dan sebelumnya lebih berpihak pada cara anggota kubu lain dalam menghadapi bencana ini.

Dan sekarang, perempuan itu dipaksa untuk terus melangkah maju menggunakan logika, dan melupakan perasaannya.

Itu pasti sangat sulit bagi Killa.

"Neth...." Panggil Killa walau matanya masih memejam.

Dan Aneth yang sedari tadi memperhatikan kelopak mata Killa, menjawab panggilannya. "Hm?"

Dengan perlahan Killa membuka matanya, membalas tatapan Aneth dengan sayu. "Lo pernah denger soal kasus pembunuhan di daerah timur nggak?" Tanya Killa.

Melihat pembahasan yang sangat tiba-tiba itu, membuat Aneth mengernyitkan dahinya. Mencoba mengingat kasus pembunuhan apa yang dimaksud Killa. "Eum... yang mana?"

"Kasus 10 tahun lalu."

Aneth kembali mengingat-ingat. Tepat setelah dia berhasil mengingat kasus yang dulu cukup gempar di kotanya, ia mengangguk cepat. "Tentang suami yang bunuh istri sama selingkuhan istrinya itu, kan? Kasus itu parah banget emang-"

"Itu kasus orangtua gue."

Ucapan Aneth terpotong, dan bibir Aneth membeku terbuka lebar. Dikiranya tadi Killa hanya ingin membahas kasus yang cukup gempar untuk mengalihkan topik. Tapi Aneth benar-benar tak menyangka apa yang baru saja dikatakan Killa.

"Kill?" Aneth termenung kemudian.

Sementara lawan bicara Aneth kini tersenyum manis. "ssst, ini rahasia kita, ya?" bisik Killa.

Lantas Aneth mengangguk setuju. Dia penasaran dengan fakta mencengangkan ini, tapi Aneth tidak akan bertanya lebih jauh jika Killa memang tidak ingin membahasnya.

"Mama gue tukang selingkuh. Papa gue psikopat gila yang gak bisa nahan emosinya, dan emosi gue nurun dari dia. Semua orang bilang gue  mirip sama Papa gue. Setelah kejadian buruk itu, gak ada satupun media yang khawatir dengan kondisi anak dari kedua bajingan itu. Dan gue dioper sana-sini sama saudara gue, gak ada yang mau nampung gue. Dan sialnya gue sadar kalo keadaan gue setelah kejadian buruk itu lebih buruk dari saat gue masih hidup bareng si psikopat. Si psikopat hitam gila, mereka nyebut gue gitu."

"Setelah itu gue tinggal bareng Tante gue yang udah berkeluarga." Killa merengkuh tubuhnya sendiri, semakin menyusutkan tubuhnya yang sedari tadi berbaring menyamping. "Dan jadi pelampiasan napsu bejat om gue." tambah Killa, mendeskripsikan kejadian yang berulang dalam satu kalimat.

Itu menyakitkan.

Rasanya sangat tidak beruntung, saat Aneth memahami bagaimana ribuan luka itu ada.

Aneth tak merespon, membiarkan Killa berbicara dengan mata yang terpejam erat.

"Gue baik-baik aja sama pemandangan mayat di depan mata gue, lo gak perlu khawatir sama gue, Neth." Mata Killa terbuka seiring kalimat terakhirnya berhasil diucapkan.

Aneth belum merespon, kembali tenggelam dalam iris hitam Killa. "Gue bukan khawatir soal ketakutan lo ngeliat mayat, Kill. Gue khawatir ke lo, ke perasaan lo, ke pikiran lo. Gue khawatir tentang semua yang mungkin berdampak ke diri lo." tuturnya dalam tatapan dalamnya.

12 Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang