Bagian 34 : Pembunuh di belakang layar

16 7 0
                                    

Masih di tempat yang sama.

Di waktu yang sama.

Tetapi dengan keadaan yang berbeda. Artha dan Jian menggunakan baju yang berbeda. Tentu saja baju yang mereka gunakan hasil dari perampasan. Mereka mengambil baju dari orang yang sudah mati. Tidak semuanya, tapi beberapa yang mungkin masih bisa dipakai.

Seperti kaos, jaket, atau topi. Tentu saja mereka tidak mungkin menggunakan celana orang lain.

Selain itu, mereka menemukan peluru dan tembak lain yang dibawa oleh salah satu dari dua orang yang telah mati ini.

"Udah?" tanya Aneth memastikan. Dan dijawab anggukan oleh kedua temannya.

Ini sudah tengah malam, dan mereka benar-benar pergi untuk bergerak malam ini. Entah apa yang akan terjadi, mereka sudah bertekad untuk mengejar dibanding harus dikejar.

Tas Aneth dibawa Artha. Isi tas itu sudah cukup mudah dibawa setelah beberapa hal dibuang untuk mengurangi beratnya.

"Okay, ayo." ajak Aneth. Walau begitu Aneth membiarkan Artha dan Jian berjalan lebih dulu, sementara dirinya dan Rena berjalan dibelakang.

Masing-masing dari mereka membawa satu pistol dengan peluru yang tersisa. Mereka berencana akan merebut peluru dari orang lain jika mereka bertemu mereka nanti.

Tepat setelah mereka keluar ruangan, angin berhembus menabrak kulit mereka. Menghapus keringat yang sedari tadi menetes di pelipis dan tubuh mereka. Udara malam ini terasa lebih dingin dibandingkan malam sebelumnya.

Artha terus berjalan dengan mengendap-endap, dibelakangnya ada Jian lalu Rena dan yang terakhir Aneth. Di lantai ini memang tidak ada cctv, jadi tidak ada yang perlu diwaspadai. Tetapi yang menjadi ketakutan adalah jika ada staff yang datang secara tiba-tiba.

Namun selama mereka bergerak ke bawah, mereka beruntung karena gedung ini tampaknya hanya memiliki sedikit staff.

'dorr'

Rena yang memiliki pistol dengan peredam suara memiliki tugas untuk menembak setiap cctv yang ditemui agar keberadaan mereka tidak terdeteksi. Walau hal itu akan memancing staff untuk datang.

Tak ada pembicaraan, mereka terus berjalan ke arah ruang staff atau ruang pusat. Ini terlalu nekat, tapi mereka sepakat untuk langsung datang ke pusat dibanding harus menghabiskan tenaga untuk menghabisi hama.

Omong-omong, denah sekolah yang tadi terpasang juga sudah dicabut untuk dibawa. Mereka menggunakan denah itu sebagai panduan untuk datang ke pusat. Aneth yakin jika staff tidak tahu mengenai seluruh ruang rahasia yang tercatat di denah ini.

Sekolah ini dibangun dengan tembok yang sangat tebal, sehingga terlihat memiliki jeda di setiap temboknya. Dan benar saja, dari denah tersebut, tembok itu memang memiliki ruang untuk jalan. Itu seperti lorong kecil yang menghubungkan ruang satu ke ruang lain.

Dan kini, Aneth mencari pintu untuk bisa masuk ke lorong sempit itu. "Ke ruang kepala sekolah." bisik Aneth memberi instruksi.

Aneth sudah pernah mengecek ruang kepala sekolah, dan tidak ada apa-apa disana. Bahkan itu satu-satunya ruangan yang tak memiliki informasi apapun. Tapi di denah ini, terlihat jika pintu lorong berasal dari sana.

Dan tibalah mereka di ruang kepala sekolah. Luas, gelap, tidak ada apapun dan tidak ada siapapun. Tanpa ragu Aneth mendahului Artha menuju sebuah lemari buku. "Bantu dorong ini." pinta Aneth yang langsung dilakukan teman-temannya.

Mereka mendorong lemari sedikit ke samping. Dan sebuah pintu persegi terlihat di tembok itu. Aneth berjalan ke lemari buku dan mencari buku dengan judul "The key of world" disana Aneth membuka buku dan menemukan kunci.

Semua informasi itu didapatkan dari denah sekolah. Lantas Aneth membuka kunci pintu dorong dan menarik pintunya ke atas. Lorong berdebu yang terlihat penuh kesuraman terpampang di depan mata mereka. Tentu saja, lorong itu pasti tidak pernah digunakan.

"Ayo." tanpa basa-basi Aneth masuk lebih dulu. menuruni tangga yang terlihat panjang. Ada dua pilihan untuk pergi ke atas atau ke bawah. Dan Aneth pergi menyusuri lantai bawah. Diikuti Artha, Rena dan Jian yang tanpa ragu mengikuti Aneth.

Tidak ada ketakutan, karena satu-satunya ketakutan sekarang adalah mati dengan mengenaskan.

Tangga itu memiliki banyak belokan, mengikuti tembok di setiap ruangan. Berliku-liku dan memiliki banyak pintu, tapi semua pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam lorong, karena pintu masuk lorong hanya melalui ruang kepala sekolah.

Dari arah turun, Aneth kemudian belok ke arah lain dan merangkak. Terkadang dia akan membuka denah jika melupakan jalannya.

"Ternyata lo gak buta map, ya?" keheningan pecah saat Jian yang tengah merangkak melempar candaan.

"Yang buta map itu orang di belakang gue." balas Aneth sembari terus merangkak.

Suara menahan tawa terdengar dari Jian. Jelas yang dimaksud Aneth adalah Artha, tapi lelaki itu mana mungkin berani membalas ucapan Aneth?

Aneth tiba-tiba berhenti bergerak. Membuat semuanya ikut berhenti dan memperhatikan apa yang tengah terjadi hingga membuat gadis itu tiba-tiba berhenti. "Gue cape," ucap Aneth dengan napas tersengal-sengal.

"Istirahat bentar, tolong." pinta Rena yang disetujui semuanya. Mereka berhenti sejenak di tempat mereka berada sekarang. Aneth kembali membuka denah, membaca dimana mereka berada sekarang.

Lalu suara langkah kaki cepat membuat mereka membeku. Menebak apa yang tengah terjadi hingga bangunan ini bergetar seperti itu. "Ada banyak orang." bisik Rena.

"Kita di plafon lorong depan ruang staff." jawab Aneth, "depan belok kiri, kita bakal masuk ke dalam ruangan itu." tambahnya memberikan informasi setelah membaca denah.

Aneth memasukkan kembali denah itu kedalam saku. "Ayo lanjut, dikit lagi sampe." ajak Aneth sebelum kembali bergerak maju diikuti tiga orang dibelakangnya.

Dan sampailah mereka tepat di langit-langit ruang staff. Beruntungnya disana ada lubang berbentuk persegi dengan jeruji. Mungkin itu bekas alat pembuang debu atau apalah itu, Aneth hanya merasa bersyukur bisa mengintip ke bawah.

Disana, Aneth dengan jelas melihat bagaimana ruangan yang tidak pernah ia lihat. Walau tidak seluruhnya, Aneth bisa yakin juga ruangan itu sangat luas. Dipenuhi dengan layar monitor yang besar, dengan beberapa komputer disana. Itu pasti berguna untuk cctv dan menyambungkan cctv ke para 'penonton'.

Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar.

"Gimana? udah siap?" seseorang masuk dalam pandangan Aneth. Mambawa segelas minuman berwarna merah, dia tampak tua. Sepertinya pria itu adalah pria yang sama persis seperti yang dilihatnya pada saat di kelas bersama yang lain kemarin.

Orang yang datang dari arah pintu mendekat, berjalan ke arah si pria dengan senyum. "Sudah." Aneth tidak bisa melihat wajahnya, tapi Aneth merasa familiar dengan suaranya. "Semuanya sesuai rencana, pak." suara itu mengalun lagi, membuat Aneth yakin jika dirinya mengenal suara itu.

Tapi siapa?

Pria itu tergelak, suaranya tawanya terdengar mengejek. "Kematian pertama, kematian di ruang tertinggi dan ruang Osis... kamu bener-bener pinter nganter temenmu mati, ya?" ucap pria itu dengan nada bangga. "Zerina... gimana ya kira-kira reaksi temenmu kalo orang yang dipercaya sama mereka, itu yang nganter kematian buat temen-temennya."

Tepat setelah itu Aneth bisa melihat sosok yang disebut sebagai Zerina masuk dalam pandangannya dan maju mendekat ke arah pria itu. 

Aneth terkejut, sangat-sangat terkejut. Matanya melebar dan tangan kanannya menutup mulutnya untuk mencegah suara keluar dari kulitnya.

"Saya bangga sebagai nyawa yang tidak dibeli." balas Zerina sembari memeluk pria itu.

Semuanya, benar-benar diluar nalar bagi Aneth. Zerina bagian dari staff???

12 Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang