Hiruk-pikuk sedang terjadi di kota besar ini. Televisi dan radio berlomba-lomba menyampaikan berita yang sedang hangat diperbincangkan.
Perbincangan mengenai pembantaian di sekolah yang beberapa bulan lalu telah tutup menjadi topik yang dibicarakan segala usia. Banyak pro-kontra yang terjadi disini, dan banyak pula yang bertanya-tanya tentang fakta yang sebenarnya terjadi.
"Kasus pembantaian 12 anggota di sekolah "Garuda Merah" digadang-gadang sebagai kasus yang melibatkan beberapa anggota penting masyarakat. Satu-satunya anggota Osis yang selamat, masih dalam investigasi." suara televisi yang menayangkan berita itu menggema di ruang tunggu sebuah rumah sakit jiwa.
"Katanya korban sekaligus saksi ada di rumah sakit ini, ya?" seorang wanita yang tampak berumur separuh abad itu menatap televisi di atas rak. Menonton televisi sembari menunggu panggilan untuk menjenguk seorang pasien.
Lawan bicara wanita itu, yang terlihat jauh lebih muda mengangguk. "Katanya sih gitu, Nek. Dia diisolasi soalnya jiwanya gak stabil. Sering nyoba buat ngelukain diri sendiri gitu, " jawabnya.
Orang yang disebut nenek itu mengangguk, merasa iba dengan kondisi seseorang yang bahkan tak dikenalinya. "Kasian. Pantes aja, gak mungkin ada orang yang waras setelah kejadian itu. Apalagi ngeliat temen-temennya meninggal di depan mata." ujarnya, mengatakan rasa ibanya.
Kata-kata seperti itu terus terlontarkan dari satu mulut ke mulut yang lain ketika mereka menonton berita itu. Merasa iba atas kondisi seseorang, tapi tak juga membantu agar kasus itu segera terselesaikan. Mereka hanya penasaran, tapi tak juga turut menuntut keadilan demi nyawa orang lain. Pada dasarnya, rasa iba tidak pernah lebih besar dari ego manusia.
Dan entah karena apa, tapi jelas kasus ini tak kunjung terlihat wujudnya, seolah memang sengaja ditutup rapat walau jawaban dan bukti sudah di depan mata. Tapi, satu-satunya bukti kuat selain korban yang masih bertahan hingga kini adalah adanya kertas yang tersebar di seluruh penjuru sekolah.
Kertas yang memperlihatkan korban dan pelaku yang terdata dengan tanda tangan di atasnya. Yang membuktikan jika isi dari kertas itu memang benar adanya tanpa ada rekayasa sedikitpun. Sehingga para pelaku yang kini tengah dalam investigasi bisa dengan mudah di tangkap, walau bukti lain cukup sulit ditemukan.
Kini, tujuan Jian di detik terakhir sebelum ia menembak habis ujung nyawanya telah terlihat jelas.
Sementara itu, di sebuah ruangan yang terletak dipojok rumah sakit jiwa. Tampak jauh dari dunia luar, seolah memang memiliki dunia lain di dalamnya. Seorang gadis berbaring di tempat tidur dengan dua tangan dan dua kakinya yang terikat di setiap sudut kasur. Tetapi tak ada perlawan dari gadis itu. Ia hanya berbaring dengan tubuh lemas dan tatapan kosong ke arah atas.
Tak ada jiwa dan kehidupan yang tersisa di dalam netranya. Seolah dirinya hidup hanya karena memang 'masih hidup'.
Sudah beberapa bulan kejadian itu berlalu, dan Aneth tidak menyangka dirinya akan tetap hidup hingga detik ini. Padahal bahu kanan dan mata kirinya sudah tak lagi berfungsi. Lalu kenapa? Kenapa dia harus tetap hidup di dalam raga yang tak lagi utuh ini?
'ceklek'
Suara kunci pintu diputar terdengar. Lalu pintu di geser dan terbuka lebar. Mata kanan Aneth bergulir melirik ke arah pintu tanpa menoleh. Seorang suster dengan raut wajah hangat berdiri di ambang pintu membawa nampan makanan.
Suster itu berjalan masuk, menuju ke nakas samping kasur. "Selamat siang, cantik. Sekarang waktunya makan siang, mohon izinkan saya bantu kamu makan, ya." ujarnya penuh kehangatan, seraya meletakkan nampan di atas nakas.
Mata Aneth berkaca-kaca, lalu air mata yang tak lagi sanggup di tampung menetes melewati pipinya. "Suster, aku boleh minta tolong?" gumam Aneth.
Sosok yang menjadi lawan bicara Aneth sontak membeku, berhenti di kegiatannya tanpa menoleh ke arah Aneth. Dirinya seperti sudah terbiasa dengan permintaan Aneth, dan lagi-lagi sang Suster tak bisa memenuhi permintaan gadis cantik yang terbaring di kasur dengan tubuh penuh kekangan.
"Tolong bunuh Aneth... Artha pasti udah nunggu Aneth, Sus." pintanya dalam suara lirihnya. Menangis dalam raga dan jiwa yang tak lagi utuh, berharap bisa memberontak pada dunia yang tak kunjung mendengarkan teriakannya. Maka, Aneth tak memiliki apapun selain tangisan yang tersisa dalam dirinya.
Aneth menatap mata suster penuh dengan rasa sakit, berusaha menyalurkan seluruh rasa sakitnya yang tak lagi bisa ditampung dengan akal sehat. Sungguh, itu adalah kalimat yang selalu Aneth ucapkan di setiap pertemuannya bersama orang lain. "Tolong bawa kematian padaku." pinta Aneth lagi.
Suster yang berdiri di samping kasur Aneth itu hanya bisa menatap sedih tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia tak bisa mengatakan sesuatu yang memberikan harapan ataupun sesuatu yang dapat memancing amarah pasien. "Saya bantu makan, yaa." pinta suster itu.
"Sakit, tolong bunuh aku. Sekali ini saja, tolong dengerin aku."
Suster itu terus bergerak menyiapkan makanan dengan tangan gemetar, merasakan perasaan sakit yang berhasil diberikan Aneth melalui netra kosongnya. Tak menghiraukan permintaan Aneth, kendati dirinya kini juga tengah menahan tangis saat mendengar suara Aneth.
•••••
Beberapa minggu berlalu.
Dan aku tak kunjung mendapatkan apa yang aku mau.
Aku tak kunjung mendapatkan kematianku.
Sungguh aku tidak peduli dengan betapa berisiknya dunia yang membahas 11 nyawa dalam 12 hari itu. Mereka berisik. Aku membenci betapa mirisnya semua orang yang menggunakan rasa sakitku untuk berlomba-lomba mendapatkan keuntungan.
Dimana mereka saat aku berteriak meminta tolong? Dimana mereka saat aku menangis dibalik ponsel yang ku genggam di hari ke dua belas? Dimana mereka semua? Aku sudah mati, bersama kasus yang akan selalu buta di depan uang.
Jadi, jangan mengharapkan kesaksian pada diriku yang tengah menikmati kegilaan di ujung hidupku ini. Karena aku tak berniat untuk sembuh. Saat ini, aku hanya memiliki satu tujuan.
Mati.
Sederhana, tapi entah mengapa terasa sangat menyakitkan saat hal sederhana itu tak kunjung datang padaku.
Dan saat ini aku duduk di kursi roda, dengan kedua tangan dan kakiku yang terikat di setiap sisi kursi roda. Tatapan mataku mengarah ke depan, menatap luasnya danau yang letaknya jauh dari taman rumah sakit jiwa tempat aku berada. Pandanganku tak seluas dulu. Karena hanya satu dari kedua mataku yang berfungsi.
Di sampingku, ada suster yang selalu ada bersamaku. Aku tidak terganggu dengannya, siapa tau dimasa depan dia akan membantuku mencapai tujuanku.
Mata kiriku melirik ke arah lain, menatap seorang remaja cantik berseragam sekolah yang tengah duduk di bangku taman bersama seorang pria berbaju pasien di sampingnya.
Ah... seandainya, jika Artha tidak mati. Mungkin aku bisa menikmati rumah sakit jiwa ini berdua. Menikmati waktu di ujung hidup, bersama kegilaan yang menguasai jiwa dengan raga yang tidak lagi utuh akan terdengar menyenangkan jika kulakukan bersama Artha. Dan mungkin, aku tidak akan se-ingin ini untuk mati. Tapi lagi-lagi itu hanya anganku saja.
Omong-omong, aku menepati permintaanmu, Artha. Aku mengabadikanmu. Aku mengabadikan banyak hal dalam hidupku yang diujung tanduk ini.
Aku mengabadikan anggota Osis, ledakan darah yang mengalir, kematian yang terus berdatangan setiap harinya, pengkhianatan, dan setiap rasa menyakitkan yang aku alami dalam dua belas hari itu.
Sungguh, aku tidak berbohong. Setiap tragedi dan setiap yang tersisa di dalam dirimu telah abadi dalam trauma dan kegilaanku selama sisa hidupku ini.
Selamat, Artha. Kamu menang, jiwamu tetap hidup dalam trauma dan kegilaanku.
Mari bertemu di dalam mimpiku, aku merindukanmu malam ini.
Aku, kamu, telah menyambut kegilaan yang baru.
![](https://img.wattpad.com/cover/325759720-288-k994159.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik
Genç KurguAneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan nyawa dan mental...