"GUE BILANG JANGAN NGOMONG!" Bentak ku disela tangisanku.
Aku memindahkan kepala Artha yang sebelumnya berada di pangkuanku ke tanah. Aku mengigit bibirku, menahan isakan tangisku walau aku masih sesenggukan. Tanganku terulur pada tas kecil di pinggang Artha, mengambil sisa granat yang dimilikinya.
"Ji, granat lo sisa berapa?" tanyaku.
"Masih utuh."
"give it to me. " aku mengadahkan tanganku padanya, dan menerima 5 buah granat darinya.
Berdiam diri dan menangis sama saja dengan aku menunggu kematian Artha. Aku harus mencari jalan keluar saat ini juga. Aku melemparkan salah satu pistol milikku pada Jian, juga memberikan beberapa peluru padanya. "Lo jaga Artha disini, gue cari jalan keluar." lantas aku berbalik dan berjalan pergi.
"ANETH! JANGAN GILA!" Suara teriakan Jian memanggil dari arah belakangku. Tetapi itu tak membuatku menghentikan niatku.
"ANETH!" Suara Artha memanggil dapat ku dengarkan dari jarak yang belum terlalu jauh. "Stop, Aneth! Demi tuhan, Neth, semakin lo pergi kesana, gue pastiin lo kehilangan gue."
Namun ancaman Artha semakin membuat langkahku lebar dan cepat. Kau salah, Artha. Jika aku tetap disini, aku hanya akan menjadi pecundang yang menunggu kematianmu dan berakhir bunuh diri karena tak dapat melakukan apapun.
Aku benar-benar akan melakukan segalanya. Setiap nyawa, darah, dan segala hal yang tersisa disini harus ikut hancur bersamaku. Aku tidak peduli, yang terpenting bagiku sekarang adalah menyelematkan Artha.
Langkahku terseok-seok, berjalan dengan satu mata dan napas yang tersengal-sengal. Melewati reruntuhan bangunan, genangan darah dan mayat yang tergelak di setiap nyawa. Ini semua hasil dari lemparan granatku sebelumnya.
Langkahku yang bahkan tak sekuat sebelumnya, kini berhasil mencapai lantai teratas. Lantai di mana ruangan staff berada. Tanpa menunggu aku yang masih berada di anak tangga, bersiap menarik tuas granat.
Dan tepat saat aku mencapai anak tangga tertinggi, aku tak langsung berbelok dan masih bersembunyi di balik tembok. Ku tarik tuas granat dan membiarkan tanganku melempar ke arah lorong.
'dor dor dor'
Suara tembakan dan peluru yang mengarah padaku terus berdatangan. Beruntung aku masih bersembunyi di balik tembok, mengamankan tubuhku yang tak lagi utuh ini.
Dentuman granat yang telah aku lemparkan beberapa detik lalu disambut dengan suara teriakan dan rintihan. Tetapi aku masih belum merasa aman, lantas aku mengambil granat lain, menarik tuas dan melemparkan ke arah yang sama.
Suara dentuman dan reruntuhan bangunan terdengar. Tetapi tak ada sahutan dari orang lain. Aku mengintip, dan memperhatikan beberapa mayat yang tergeletak di lantai, beberapa bangunan sudah terbakar.
Tanpa perasaan takut aku pergi mendekati ruangan yang pintunya tak lagi utuh. Langkahku yang terseok melewati tubuh yang memiliki bau terbakar itu. Tapi belum sempat aku mencapai pintu yang telah patah setengah itu, kakiku ditahan oleh tangan orang yang tampak sudah sekarat.
"Lo... lo harus mati bareng kita." ucapnya di tengah hidupnya yang tak lagi utuh.
Aku mengangkat pistol ke arah kepalanya, "Go to hell." dan menarik pelatih untuk menembak kepalanya. Tepat setelah itu, tangannya tak lagi memiliki tenaga untuk menahan pergelangan kakiku.
Aku melanjutkan langkahku, dan berhenti di depan pintu itu. Tanganku terangkat, menarik pelatuk dan menembakkan knop pintu untuk sepenuhnya menghancurkan pintu itu.
Dan tanpa ku sentuh, pintu itu terbuka. Memperlihatkan diriku yang berdiri tegak dengan kedua tanganku yang mengarahkan pistol ke dalam.
"Hai... selamat datang!" disana, pria yang aku kenali wajahnya. Dia adalah kepala sekolah yang selama ini aku ketahui. Di belakang pria itu, terdapat beberapa staff yang bersiap dengan pistol mereka. "Setelah dua belas hari terlewati, saya tidak menyangka kamu ,'lah yang akan mencapai puncak. Tapi sayang sekali, faktanya... yang bisa hidup hanya salah satu dari kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik
Teen FictionAneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan nyawa dan mental...