Bagian 39 : kasus buta

99 12 0
                                    

Aku duduk di samping kepala Artha, membawa kepalanya untuk berada di pangkuanku. Dengan lembut aku mengelus rambut ikalnya, membawa kepalanya untuk semakin mendongak kearahku.

"Please, stay with me." bisikku, dengan air mata yang terus mengalir. Kurasa hari ini aku membuang cukup banyak air mata, mataku juga mulai lelah memproduksi air mata.

Netraku menangkap bibir Artha yang melengkung dengan manis. "I try it." ucapnya, yang bahkan suaranya hampir tak dapat ku dengar.

"Tha, jangan tidur. Gue mohon bertahan bentar lagi, kita habis ini pulang ya..." seruku.

"I try it, Neth."

Aku semakin menangis tersedu-sedu, ku pukul dadaku demi mengurangi rasa sesak di setiap sudut dadaku. Tangan kanan Artha terangkat menghentikan pukulan yang kulakukan pada diriku. Kepalanya menggeleng tak bertenaga, ia bahkan masih mengingat kebiasaan buruk ,'ku. "Lo bisa cerita apa aja sekarang, Tha. Gue bakal dengerin setiap kata yang lo ucapain, tapi tolong jangan tidur." pintaku lagi.

Artha menghembuskan napas berat, "Gue capek, Neth." ucapnya.

Aku tahu.

Aku tahu betapa lelahnya dirimu.

Tapi jika kamu benar-benar beristirahat sekarang, maka aku tak akan bisa beristirahat selama sisa hidupku.

Aku egois? ya, aku tahu.

Aku mengalihkan perhatianku, mendongak dan mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut sekolah. Aku sudah mengibarkan bendera, lalu kenapa gerbang tak segera terbuka? "GUE UDAH BERHASIL BAWA BENDERA! BUKA GERBANGNYA!" teriakku, aku tahu jika para 'penonton' saat ini menyaksikan diriku.

"KENAPA? KENAPA GAK DIBUKA?! BENDERANYA UDAH DI PUNCAK!" aku menambahkan, berharap seseorang mendengarku.

"Maaf, Aneth. Gue cuman jadi beban buat lo, ya? demi tuhan gue berusaha tetap hidup, Neth. Gue gak mau ninggalin lo sendirian, gue harus hidup kalo lo mau hidup. Tapi semuanya diluar kendali, Neth."

mendengar perkataan Artha, aku berhenti berteriak histeris. Menunduk dan menatapnya dengan tatapan tak mengerti. Untuk apa meminta maaf? dan untuk apa menjelaskan sesuatu yang tak ingin aku tau? "Gak usah buang tenaga cuman buat jelasin, Tha. Gue cuman mau lo bertahan sekarang."

Artha tertawa kecil, tangannya yang tadi menahan pergelangan tanganku kini terangkat dan menyentuh wajahku. "Gue tadi hampir mati kalo bukan karena Jian."

"Sekarang pun lo hampir mati." tungkasku.

Artha mengangguk, membenarkan ucapanku. "Tapi seenggaknya gue bisa ketemu lo dulu sebelum mati." aku yang kesal hendak mengangkat tanganku untuk memukul bibirnya. Tetapi gerakanku terhentikan saat mengingat kembali keadaan dirinya.

Gelak tawa kecil kembali terdengar dari Artha, lalu bibirnya terkatup seolah menahan sakit. "Neth, abadikan gue ya? Abadikan gue dalam hal apapun, Neth." suaranya terdengar seperti berbisik. Matanya semakin redup, tangan yang berada di pipiku kian melemas dan terjatuh di tanah.

aku yang panik lantas menepuk pipinya berkali-kali, "ENGGAK, GUE NGGAK MAU LO CUMAN ABADI DI DALAM INGATAN GUE, THA! LO HARUS ADA DI SAMPING GUE!" teriakku di depan wajahnya. Menahan Artha untuk tetap sadar, pergerakan tanganku terhentikan oleh genggaman Artha.

Ia menarik tanganku, dan tangan kanannya membawa tengkuk leherku mendekat ke arah wajahnya. Hingga bibir keringnya menyentuh bibirku yang berlumuran darah.

Bukan, bukan seperti ini ciuman yang selalu ku impikan. Bukan ciuman dengan bau anyir dan penuh kesakitan seperti ini yang kuinginkan dari Artha. Jangan membuatku membenci ciuman seumur hidupku, Artha.

12 Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang