Bagian 29 : Benang merah

20 6 0
                                    

"Lo gak salah ngartiin?" tanya Jian memastikan.

Ia mendekat ke arah Artha, menatap kain merah yang sudah dicoret-coret sesuai dengan huruf yang ditemukan Artha dari buku pramuka itu.

Rena dan Aneth ikut mendekat. Mereka duduk mengelilingi kain merah itu.  Rena mengambil buku pramuka yang letaknya disamping red, menggulir lembaran buku dengan gerakan cepat. Dirinya merasa sangat panik, yang dibutuhkan Rena sekarang adalah kebenaran dari red itu.

Artha tidak langsung menjawab. Ia masih mengerutkan dahinya seraya menatap sandi morse dengan tatapan ragu, "Gue bener-bener nyusun hurufnya sesuai sama yang ada di buku itu." jawab Artha, masih tampak keraguan dari nada suaranya yang sedikit menggantung.

Tak ada tanggapan dari Aneth. Gadis itu menatap tajam ke arah red, fokusnya hanya pada satu titik. Terlepas dari keterdiamannya, ia sedari tadi berpikir keras agar tidak salah mengambil langkah.

Rena mencari setiap huruf yang ternyata sudah ditandai dengan sebuah garis kecil oleh Artha, menandai jika pria itu benar-benar menyusun sandi morse sesuai dengan yang ada di buku ini. Berkali-kali Rena menggulir matanya dari buku ke kain merah di depannya untuk memastikan sendiri setiap katanya.

"Ini udah sesuai." gumam Rena. "Tapi kenapa Red yang ini beda dari Red yang lain? Ini terlalu to the point. Biasanya red kata-katanya dibikin ribet, dan gak langsung ngasih tau tujuannya." imbuh Rena.

Memang benar jika isi dari kain merah kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Di red sebelumnya, mereka harus memutar otak untuk memecahkan arti dari isinya. Tetapi kali ini mereka hanya perlu mencari arti dari buku Pramuka dan menemukan intinya begitu saja.

"Lo salah. Red ini nggak bertele-tele karena bayaran dari jawaban red kali ini, itu dua nyawa dari anggota Osis."

Keterdiaman menguasai mereka semua ketika mendengarkan kata-kata yang dilontarkan Jian. Benar, tinggal balik dari jawaban red ini adalah dua nyawa anggota Osis.

Aneth menghela napas dalam, "Mau itu bener apa enggak, gak ada salahnya kita mulai siap-siap." ucapnya seraya berdiri dari duduknya. "Gedung ini paling sedikit cctv-nya. Di bawah lantai ini ada dua ruangan, satunya udah hancur sampe ke titik balik bawah. Tapi satunya masih aman, ruangannya paling pojok dan gak pernah dipake apapun. Gimana menurut kalian kalo ruangan itu dijadiin base sementara?" Aneth melihat ke arah tiga orang yang masih duduk di lantai.

Semuanya tampak berpikir, mencari keuntungan dan kerugian jika mereka benar-benar menjadikan ruangan itu sebagai basecamp sementara.

Lalu Rena yang paling pertama merespon, dengan nengedikkan bahunya. "Gue sih gak masalah. Kayaknya it's not a bad idea." timpal Rena sambil berdiri dari duduknya, lalu melipat kedua tangannya di dada.

Diikuti Artha yang mengangguk setuju, kini Jian ikut berdiri dengan wajah pasti. "Deal, ayo kesana."

•••••

Tibalah mereka di ruangan yang dimaksud Aneth. Ruangan yang semula terkunci rapat, tetapi berhasil dihancurkan dengan melempar kursi ke arah pintu.

Mereka kembali menutup rapat ruangan itu saat semua sudah masuk ke dalam. Tidak lupa menggunakan meja panjang untuk menutup pintu itu dengan rapat.

Gelap, tidak ada cahaya selain dari cela jendela yang langsung menangkap sinar matahari. Sejujurnya Aneth pun tidak tahu itu ruangan apa, sebab tidak pernah digunakan. Yang selalu digunakan hanya ruangan disebelahnya, yaitu ruangan studio musik sekaligus ruang dance yang dijadikan satu. Maka dari itu, ruangan yang ikut hancur bersama ruang studio rekaman itu sama luasnya.

12 Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang