Masih dalam dekapan hangat, Aneth tak kunjung melepaskan pelukan Artha, karena satu-satunya sumber kehangatan hanya ada pada Artha. Dan Aneth tak berniat melepaskan satu-satunya kehangatan dari segala ketakutan yang ada.
Hanya saja suasana sedikit lebih tenang.
Hanya suasananya yang tenang, karena pada dasarnya isi kepala masing-masing anggota OSIS sudah hancur, tidak sanggup untuk sekadar memberikan dukungan satu sama lain.
Aneth mengerti, mereka mungkin berpikir jika mereka keluar dari gerbang itu pun mereka tidak memiliki tujuan untuk pulang.
Bagaimana mungkin mereka tetap menganggap rumah yang telah menjual nyawa mereka sebagai tujuan untuk pulang? Nyawa yang tetap hidup setelah neraka ini hanya akan berakhir sia-sia.
Begitu pun dengan Aneth. Hanya saja, Aneth bukan memikirkan tempat pulang karena tempat pulangnya bahkan berada di dekatnya. Namun ketakutan Aneth hanya satu,
Bagaimana jika rumahnya mati di neraka ini?
"Artha, apapun yang terjadi, you have to stay alive," ucap Aneth, yang suaranya teredam di dada Artha.
Suara tawa kecil terdengar dari Artha, "Sure," balasnya tanpa pikir panjang. "Itu pun kalau lo juga tetap hidup," imbuhnya, yang tampaknya tak akan pernah bisa dibantah Aneth.
Karena Aneth juga akan melakukan hal yang sama.
Aneth mendongak, memperhatikan leher dan rahang Artha karena laki-laki itu tengah menatap ke depan. "You okay?" tanya Aneth berbisik.
Pun Artha menunduk, lalu mengangguk.
"Cry on my shoulder, Tha."
Artha mematung dan terus memperhatikan wajah Aneth dengan senyum tipis di wajahnya. Ia mendekatkan wajah ke arah Aneth, lalu meletakkan kepalanya di bahu kanan Aneth.
Dia menangis sekarang.
Artha sama seperti anggota OSIS lain yang terpukul. Ia sangat bimbang dan merasa cukup lemah untuk sekadar melindungi Aneth-nya. Ia juga bisa menangis di tengah rasa lelah dan bingungnya.
Aneth menepuk punggung Artha pelan, ia melirik ke sekitarnya sembari terus membiarkan bahunya basah karena air mata Artha. Ia menyadari jika tidak ada yang baik-baik saja sekarang.
Semuanya tampak sudah menyerah, dan dirinya sendiri pun sama seperti mereka. Aneth sudah tak memiliki gairah besar untuk menyelesaikan teka-teki itu.
Ah, tapi ada satu hal pasti yang Aneth pahami sekarang. Bajingan yang merencanakan ini semua, sengaja menyerang mental anggota OSIS di perjalanan awal mereka. Ini semua untuk mempengaruhi cara hidup anggota OSIS ke depannya.
Semuanya berjalan sesuai keinginan para bajingan itu.
Dan Aneth tidak mampu merusak semua rencana mereka. Apakah sedari awal Aneth seharusnya tidak memaksakan anggota OSIS untuk datang ke ruang guru? Harusnya Aneth tidak perlu memecahkan teka-teki itu agar mereka tetap stabil. Ini kesalahan—
"Semua bukan salah lo, jangan nyalahin diri sendiri. Udah seharusnya anak OSIS ngerti fakta ini," seolah mengerti apa yang dipikirkan Aneth, Artha bahkan mengucapkan itu di saat mentalnya juga tengah tidak stabil.
Tangan Aneth semakin erat memeluk Artha. Membiarkan pria itu beristirahat di bahunya.
Biasanya tidak secara terbuka mereka terlihat sangat dekat seperti ini. Tapi masa bodoh dengan tanggapan anak OSIS, Aneth hanya membutuhkan Artha.
"Maaf, ya, aku tadi belum mandi hehe. Bau ya?" rengek Aneth tidak merasa bersalah.
Perlahan Artha mengangkat kepalanya dan menatap wajah Aneth. "Gue udah apal bau lo, nggak usah sok malu-malu kucing lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
12 Titik Balik
Teen FictionAneth Tisha Andintala, seorang anggota Osis yang terjebak di dalam gerbang sekolah yang selama ini ia bela mati-matian bersama 11 anggota lain. Aneth bertanya-tanya apakah solidaritas, kekompakan dan semua hal bisa bertahan bahkan nyawa dan mental...