Bab 14: Musim Gugur Tapi Hangat

69 11 0
                                    

("Musim gugur biasanya daun-daun berjatuhan, lha kok ini ada yang tumbuh?")


Tokyo makin dingin sejalan peralihan musim panas ke gugur. Orang-orang mulai akrab dengan blazer hangat dan sweater untuk menahan terpaan angin. Herman mulai menunjukkan gejala masuk angin setelah terlihat beberapa kali menenggak Tolak Angin. Musim gugur yang rupanya begitu kontras dengan suasana batin Gusti. Hidupnya justru makin hangat seiring hubungannya dengan Seruni yang makin dekat. Malam ini, dia mengirim canda berupa tautan Youtube kepada Seruni via Whatsapp, dengan pesan:

'Ni, ternyata ternak lele di ember bisa bikin kaya.'

Gayung lebih dari bersambut, Seruni membalas pesan itu dengan sambungan video.

"Udah ditonton belum?"

"Kebayang enggak, Gus, jam sepuluh malem, di tengah kesunyian, tetiba dikirimin link cara ternak lele?" Gadis itu tergelak. Gusti menyambut dengan suka cita.

"Inspiratif lho."

"Uni enggak tau lagi jalan pikiran Gusti," balasnya sembari menyeka air mata tawa. "Mending Gusti ngerjain tugas presentasi deh."

"Masih minggu depan, Ni. Tapi kalo kamu mau nemenin, beda cerita ehehe..."

Dua setengah bulan sejak kedatangannya di negeri samurai, serta setelah melalui beberapa ritual matahari senja bersama, kedekatan Gusti-Seruni kian hari kian menjanjikan. Saling melempar canda sudah menjadi new normal. Belum lagi grafik aktivitas penggunaan fitur video call menunjukkan pola progresif. Hal tersebut berbanding terbalik dengan koneksi Gusti-Lian yang terus menukik seperti karier artis karbitan.

Di periode awal kedatangan, Gusti masih memikirkan wajah Lian ketika melangkah. Masih mempertimbangkan bagaimana caranya menjaga hati sahabatnya. Sekarang, filter itu makin menipis dan satu-satunya tameng yang dia pakai adalah: karena hingga saat ini tidak ada komitmen nyata dengan Lian, maka semua tindak tanduknya adalah legal.

"Musim gugur gini yang bagus di Jepang opo yo?"

"Momiji, Gus."

"Makanan?"

"Duh, Gusti. Makanya kalau nge-Youtube tuh explore Jepang, malah ternak lele." Lesung pipi Seruni aktif, membuat Gusti ingin bermalam di sana.

"Terus, apa dong?"

"Googling sana."

"Enggak ah, kamu aja yang jelasin," goda Gusti.

Seruni mendengus gemas. "Momiji itu tumbuhan, Gus. Bentuk daunnya mirip jari, pas musim gugur warnanya merah. Cakep deh. Di kampus juga ada kok, enggak pernah merhatiin ya?"

Gusti menggeleng. "Yang aku perhatiin cuma kamu."

Lesung pipi kiri itu tampil kembali. Lesung untuk Gusti yang nakal, Gusti yang lucu, dan Gusti yang mulai disukai Seruni.

"Ada rekomendasi taman yang bagus untuk lihat momiji? Yang bisa buat ngehabisin waktu seharian gitu."

"Hm..." Seruni memilin poni. Bagi Gusti, itu adalah pose berpikir paling rancak sedunia. "Ke Gunung Takao aja gimana?"

"Mau lihat momiji aja capek banget, kudu naik gunung."

"Gunungnya bukan gunung yang gunung banget gitu, Gus." Seruni coba menjelaskan dengan beberapa gerakan tangan. "Eh, gimana sih. Ah, pokoknya Gusti cari aja di internet. Daerahnya enggak jauh dari Tokyo, experience-nya dapet, cost-nya juga rendah."

"Besok ke sana yuk," tembak Gusti.

Seruni tampak terkejut. "Besok banget?"

"Enggak ada kuliah kan?"

"Enggak sih. Mendadak banget."

"Justru dadakan gini yang seru, Ni. Piye?"

"Oke deh. Uni ajak Kak Mila ya? Kamu juga ajak Mas Herman."

Niat berduaan saja lagi-lagi gagal. Sepertinya Gusti harus lebih bersabar lagi.


*****

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang