Bab 22: Seruni di Februari

73 6 4
                                    

(Februari selalu mengusung ekspektasi kasih sayang, walau kenyataannya terlalu banyak kejutan)


Sebagai warga tropis, bertemu dengan salju menjadi impian Gusti sebelum berangkat ke Tokyo. Saking antusiasnya, dia sudah membawa sebotol sirup Marjan untuk disajikan bersama butiran salju sebagai es serut. Sayang, hingga penghujung Februari, salju tidak menghampiri Tokyo. Kota metropolitan itu hanya diselimuti suhu rendah. Gusti kesal. Happy enggak, masuk angin iya. Ekspektasinya benar-benar berantakan. Seperti ekspektasi Gusti tentang hubungannya dengan Seruni.

Berantakan.

Gusti mengira menjalani kisah kasih dengan Seruni hanya ada suka dan suka. Nyatanya, memahami pacar lebih sulit daripada membangun candi. Dengan nihilnya pengalaman dalam berpacaran, Gusti jadi sering syok dengan gejolak sang kekasih. Pria itu tidak nyangka bahwa Seruni sebagai teman, sangat kontras dengan Seruni sebagai pacar. Memang, di awal hubungan semua tampak indah. Namun, seperti membuka kulit jagung, satu demi satu sifat asli Seruni terkuak seiring berjalannya waktu. Wanita itu sangat dominan.

Sangat. Dominan.

Sambil mengudap takoyaki yang barusan dia beli dari konbini, Gusti mengingat kembali beberapa kejadian yang mengguncangkan jiwanya. Kejadian-kejadian yang menjawab pertanyan Gusti tentang mengapa rekam jejak hubungan asmara Seruni tidak berakhir bahagia.

****

Insiden 1: Gara-gara mata Gusti.

Mereka berada di Hamasuzhi, restoran sushi dengan harga terjangkau: 100 yen per piring. Cara pesannya unik, tinggal memilih jenis sushi lewat tablet, lalu tak lama kemudian sushi pesanan akan tiba melalui konveyor kecil di sisi samping meja. Ini kali kedua Gusti makan di tempat ajaib itu. Seruni mempersilakan pacarnya memilih duluan. Sebagai awalan, Gusti memesan seporsi flamed fatty salmon with cheese dan seporsi squid tempura. Seruni, sementara itu, masih sibuk memilih.

Sambil menanti, mata Gusti berkeliaran. Perhatiannya jatuh pada meja yang ada di seberang diagonalnya. Dua wanita Jepang tengah bercengkrama dengan tumpukan piring sushi yang tingginya mengalahkan Tokyo Tower. Gusti takjub, dengan porsi segila itu, tubuhnya tetap langsing-langsing saja. Hingga akhirnya, suara helaan napas Seruni terdengar.

"Kenapa, Ni?"

"Laper," jawabnya singkat sambil memencet gambar berbagai menu sushi dengan brutal.

"Wow wow, Ni. Kalem kalem, itu banyak banget sushi kamu pesan loh." Gusti menahan tangan Seruni. Porsi sebanyak itu mengingatkan Gusti pada sundel bolong.

Seruni menampik tangan Gusti, lalu kembali menekan gambar sushi selanjutnya. "Uni laper, Gus. Biarin aja kenapa."

Gusti menurut walau ngeri sendiri.

Puas memesan, Seruni izin ke toilet. "Kalo sushinya dateng, taruh aja di meja ya, Gus."

Gusti mengangguk dan Seruni pun berlalu. Lima belas menit berjalan, setengah meja hampir dipenuhi piring-piring sushi. Gusti masih merasa wajar, cewek kan suka lama kalau di kamar mandi. Dia pernah mendengar bahwa cewek bisa menghasilkan ratusan swafoto di sana. Jadi, bisa saja saat ini Seruni lagi sesi pemotretan. Sampai tiga puluh menit, belum ada tanda-tanda kemunculan Seruni. Apa jangan-jangan Seruni sedang memahat arca di sana? Mana meja sudah penuh sushi lagi! Gusti jadi khawatir. Kalau masuk ke toilet wanita, tentu bakal diamuk massa. Dia lalu menelpon pacarnya. Tiga detik kemudian, Seruni mengangkat.

"Uni, kamu enggak apa-apa? Lama banget di toilet? Narik kabel listrik ya? Hahaha..."

"Uni di kereta."

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang