Bab 20: Toksik

71 5 0
                                    

(Toksik: Racun tubuh sih bisa dibersihkan, kalau racun hati?)

Pagi itu Herman terlihat sedang bercengkrama dengan Nagano-san, wanita Tokyo tulen paruh baya pemilik apato yang punya model rambut sasak pirang mengembang ala ibu-ibu pejabat. Gusti tidak bisa mendengar obrolan mereka, tetapi setahu Gusti, sohibnya itu punya skill berbahasa Jepang setara batu kali. Penasaran, sambil memegang secangkir kopi pagi, dia mendekati Herman setelah Nagano-san berlalu melintas dan mengucap ohayou gozaimasu*.

"Ngobrol opo, Her?"

Herman mengangkat bahu. Gusti heran, jika Herman tidak mengerti apa yang Nagano-san katakan, mengapa mereka terlihat nyambung?

"Jadi aku nemu kesaktian kata daijoubu, Gus. Ini bener-bener berguna untuk kita, yang lebih milih loncat dari Monas ketimbang belajar bahasa Jepang, dalam menghadapi segala bentuk komunikasi dengan warga lokal," terang Herman sombong. Lagaknya seperti habis mendapatkan ijazah S2 sastra Jepang. Berdasarkan pengalaman Gusti nonton anime, daijoubu bisa diartikan semacam it's okay.

"Ini udah ta' terapkan di mana-mana lho. Contohnya, kemarin pas aku mbayar sayur di kasir Seven Eleven, petugasnya ngoceh sesuatu sing aku ora ngerti. Aku jawab aja dengan daijoubu, terus dia langsung ngangguk dan ngasih plastik." Alis Herman naik turun, masih menyombong. "Begitu juga dengan Nagano-san tadi. Dia ngomong ngalor ngidul, cukup Aku jawab dengan daijoubu."

"Emang kowe yakin, dia enggak ngomong aneh-aneh?"

"Misalnya?"

"Dia minta izin malem-malem nyusup ke kamarmu, kemudian secara kasual numpahin cabe bubuk ke mukamu dan teriak, SURPRISE!"

"Amit-amit. Eh, hari ini dirimu ada kuliah ya, Gus?"

"Ada, kenapa?"

"Gus, hari Sebtu itu berarti sesel-seseling wektu, waktu yang padat berjejal-jejalan. Enggak baik untuk melakukan pekerjaan besar. Baiknya buat introspeksi diri. Eh, ini malah kuliah!"

Gusti hampir melempar isi gelasnya kalau saja Herman tak segera kabur setelah meledeknya.

****

Ramen Andalan

Hari Sabtu adalah hari di mana sejoli bertebaran di taman-taman, pusat perbelanjaan, restoran, dan titik keramaian lainnya di Tokyo. Namun, bagi Seruni dan Gusti, Sabtu mengharuskan mereka melahap tiga sesi kuliah Environmental Economics-nya Profesor Kotani. Diam-diam Gusti menyesal mengabaikan jejak Herman yang tidak mengambil mata kuliah itu demi menjaga keseimbangan hidup. Penyesalan juga menghinggapi Mila setelah sadar dirinya hanya menjadi semut rangrang di antara Gusti-Seruni.

"Okay. See you next week," tutup sang dosen sembari menutup tabletnya tepat pukul lima sore.

"Thank you, Sensei." Para peserta yang cuma lima gelintir itu menjawab serentak.

Gusti dan Seruni saling pandang. Saatnya kencan! Tidak ada ritual senja hari itu karena kondisi langit kurang mendukung.

"Gue duluan ya!" Mila pamit.

"Lho, ikutan kita aja, Kak," cegah Seruni sembari berberes.

"Iya, Mil. Ikut aja, yuk," tambah Gusti walau sebenarnya dia ingin Mila segera enyah dari pandangan.

"Kapok gue. Minggu lalu gue udah jadi raket nyamuk. Sekarang kira-kira jadi apa lagi coba? Magnet kulkas?" cocor Mila.

"Deu, ngambek, Kak?"

"Kagak. Lagian gue ada urusan. Mau memberantas kejahatan sama Pikachu. Daaah!" Mila beranjak lalu menoleh sejenak di pintu kelas. "Oya Gus, kalo lo macem-macemin si Uni, gue spill di sosmed!"

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang