Bab 34: Cilok Terenak Untuk Lian

286 11 2
                                    

~Assalamualaikum~

Bunyi bel bergaung sumbang akibat baterai yang sekarat. Gusti berada di depan pagar pintu rumah Lian, sore itu, setelah membereskan administrasi kepulangannya di kantor. Menyambangi rumah adalah cara paling logis untuk mencari keberadaan sang pemilik. Gusti berharap ada Lian di dalam hingga seluruh masalahnya tuntas tanpa penyesalan. Kalaupun tidak, pasti orang tuanya tau keberadaan Lian.

Wajah tak asing kemudian menyembul. Guratan wajahnya mirip dengan Lian.

"Eh, Gusti? Kapan balik dari Jepang? Masuk, Gus," Bunda menyambut ramah. Sebelumnya, Gusti sudah menyiapkan mental kalau Bunda memakinya habis-habisan dan menjadikannya adonan gorengan. Ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya dikecewakan. Ternyata, Bunda tetap menerimanya dengan baik.

"Makasih, Bunda." Gusti duduk. Memanggilnya Bunda kini terasa janggal setelah dia melukai anaknya.

"Kamu tahu aja jam masak Bunda. Kebetulan Bunda lagi masak deep fried tempeh with spiced batter."

"Apa tuh, Bun?"

"Mendoan. Sebentar ya."

"..."

Bunda memang doyan bercanda.

"Silakan, Gus. Dihabisin boleh," sodor Bunda setelah menaruh sepiring mendoan hangat menggungah selera di atas meja. Gusti menyambar satu.

"Gimana Jepang? Masih bikin Gerakan Tiga A?"

"Kebetulan udah berhenti sejak, hmm, tujuh puluhan tahun yang lalu. Mungkin," seloroh Gusti menyambut canda Bunda, kemudian segera mengeluarkan pertanyaan inti. "Lian ada, Bunda?"

"Lian pergi, Gus," jawab Bunda menyisakan senyum.

"Pergi ke mana ya, Bun? Tadi pagi sebelum ke kantor, Gusti mampir ke kafe tapi Riska enggak mau jawab. Bunda pasti tahu, kan, di mana Lian?"

Kali ini Bunda masih tersenyum tanpa berkata. Dari tatapannya, Gusti dapat membaca bahwasanya Bunda mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Lian. Gusti lalu mendekat untuk menyentuh tangan Bunda. "Bunda, Gusti minta maaf. Gusti udah ngecewain Bunda dan Lian."

Menunduk meminta maaf memang satu-satunya cara untuk menata kembali hubungan yang porak poranda. "Harusnya Gusti enggak melakukan itu. Gusti sadar udah bikin kesalahan yang besar. Gusti minta maaf dengan sangat."

Bunda membelai rambut Gusti.

"Bunda kecewa sama Gusti, itu udah pasti. Bunda pengin kalian suatu saat nikah. Bunda udah kenal kamu lama dan kamu anak baik. Tapi, mau gimana lagi, Gus. Ini udah kejadian. Bunda juga enggak bisa apa-apa." Bunda kemudian membelai punggung tangan Gusti. "Gini, Gus. Setiap orang pasti punya kesalahan. Dan, setiap kesalahan punya konsekuensi. Ini konsekuensi yang harus kamu jalani. Kamu juga sih, Gus, ada Lian yang sayang sama kamu tapi kamunya merem."

"Iya, Bun. Karena itulah sekarang Gusti pengin banget ketemu Lian. Gusti pengin menebus kesalahan. Lian di mana, Bunda?" tanya Gusti sekali lagi penuh harap.

"Lian pergi ke suatu tempat. Dan maaf, Bunda enggak bisa kasih tahu kamu, Gus."

Mendengar itu, Gusti menenggelamkan wajah ke dalam tangan. Bunda lalu mengusap bahu Gusti. "Kasih dia ruang, Gus. Ini pertama kali dia jatuh cinta, dan pertama kali juga patah hati. Bukan hal yang mudah. Tapi, satu yang bisa Bunda sampaikan, kondisinya sehat. Kamu enggak perlu khawatir."

Gusti mengangguk pelan. Menemui Bunda ternyata tidak membuahkan hasil. Rasa bersalah Gusti sepertinya harus mendekam lebih lama.

"Sebentar ya, Gus. Bunda mau ambil sesuatu." Wanita 56 tahun itu beranjak ke kamarnya. Tidak sampai dua menit, dia kembali dan menyerahkan satu amplop biru muda kepada Gusti.

Refleks, Gusti menolak. "Bunda apa-apan sih? Gusti kan bukan anak kecil lagi."

"Idih, pede banget. Ngapain juga Bunda ngasih kamu angpau." Bunda lalu melekatkan amplop itu ke telapak tangan Gusti. "Ini dari Lian buat kamu, Gus. Dia nitip ini ke Bunda."

"Ooh..." Gusti malu sendiri. Dia kemudian menatap erat benda itu.

"Tenang, Gus. Bunda enggak baca suratnya."

"Ya, Bun. Gusti percaya kok."

Bohong. Orang tutup amplopnya sobek gitu.

Surat itu memberikan sekelumit harapan pada Gusti. Dia membatin, semoga masih ada kesempatan baginya untuk menyambung kembali pecahan hubungan yang sudah berceceran ini.

"Bunda, Gusti boleh baca ini di balkon?"

****

Gusti membuka perlahan surat itu dengan tangan yang sedikit bergetar. Di atasnya, langit sudah siap memerah. Warnanya cantik dan Gusti harap, isi surat itu tidak merusak keindahan senja ini. Mata pria itu mulai membaca kata demi kata.

Hi, Gus...

Kalau surat ini ada di tanganmu, berarti kamu udah minta maaf sama Bunda. Yah, kamu emang harus minta maaf ke Bunda sih, karena seperti Ibuk, dia juga pengin banget kita... hmm, udahlah.

Gus...

Aku minta maaf yah, kalau perasaanku malah ngerusak persahabatan kita. Aku juga sih yang bodoh, bertahan pada cinta sendirian. Maaf juga kedatanganku ke Tokyo bikin harimu berantakan. Maaf ya, Gus.

Gusti berdecak ketika membacanya. Bagaimana bisa Lian meminta maaf padahal ini semua salah Gusti yang tak pernah benar-benar sadar betapa berartinya posisi wanita itu di hidupnya?

Gus...

Sekarang aku belum bisa nemuin kamu. Bahkan setelah semua ini, kayaknya aku enggak mungkin kuat melihat kamu lagi. Embohlah, aku ngikutin arah angin aja. Yang jelas, di sini aku dalam keadaan baik secara fisik. Kalau hati sih, masih sedih. Hiks. Ini enggak mudah buat aku, Gus. Asli.

Gus...

Stop mencari aku ya. Biar kesendirian ini yang nyembuhin hatiku. Kamu tenang aja, aku enggak bakal ngelakuin yang aneh-aneh. Paling nangis semaleman, hehe. Kita enggak pernah tahu apa yang bakal terjadi nanti, tapi seenggaknya biarkan aku sendiri dulu.

Sehat-sehat ya kamu di sana. Jangan suka bikin Ibuk sebel. Doaku selalu yang terbaik buat kamu.

Berlian.

Gusti melipat kembali surat itu bersama helaan napas. Rasanya memang lancang jika dia mengharap akhir yang indah. Namun, Gusti masih berharap bertemu dengan akhir yang seperti itu. Rangga dan Cinta aja bisa bersatu di AADC 2, masak Gusti tidak bisa sih?

Sore itu, ditemani matahari yang mulai menjalankan rutinitasnya, Gusti memutuskan untuk menghormati permintaan Lian. Dia akan berhenti mencari Lian, tetapi hanya untuk sementara. Layaknya Lian yang butuh sendiri, Gusti juga butuh untuk memperbaiki diri. Dan, ketika semua sudah siap, Gusti akan kembali bertekad menemukannya, walau harus jungkir balik, compang-camping, setengah gila, apa pun taruhannya! Gusti yakin, di ujung perjalanan, mereka akan bertemu kembali dalam keadaan terbaik.

Gumaman menutup sore Gusti.

Lian, tunggu aku ya. Aku bakal bawa cilok terenak buat kamu. Bersama hatiku.

~TAMAT ~


Propaganda Jepang saat masuk menjajah Indonesia. Gerakan tiga A: Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia.

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang