Bab 30: Pasti Kehilangan

101 8 0
                                    

(Berdiri di dua perahu itu mustahil, kecuali kalau punya empat kaki)

Lian melempar tubuhnya ke atas kasur. Air matanya masih enggan berhenti berurai sejak keluar dari kampus XZ. Sepanjang perjalanan, dia sadar telah mengundang perhatian orang-orang di dalam kereta, penjaga loket lotre, tukang takoyaki, polisi manula, hingga resepsionis hotel. Namun, dia tidak peduli. Biarlah semua orang melihat wajahnya yang kacau karena kesalahan diri sendiri. Dia merasa bodoh telah menaruh hati pada Gusti. Pria itu tidak benar-benar menyayanginya. Ucapan menyerah akan Seruni yang dulu Gusti ucapkan di balkon rumahnya, tidak lebih dari omong kosong. Saking terpukulnya, Lian sempat berharap ada satu mobil yang menabrak dirinya, membuatnya amnesia seperti salah satu adegan di sinetron picisan.

Instagram. Media sosial itu mendadak terlintas di kepalanya. Di dalam kegalauan, timbul rasa penasaran untuk mengetahui sejauh mana mereka telah berhubungan. Lian belum bisa menampik bahwa masih ada penyangkalan dalam hatinya. Dengan segera dia mengambil gawai dan langsung mengakses akun kafe Gondosuli. Jika selama ini dia tidak pernah tertarik bermedia sosial, kali ini dia seperti melanggar prinsipnya sendiri. Semua gara-gara Gusti sialan!

Lian menyesal. Ternyata, menyelami akun instagram Gusti dan Seruni adalah ketololan sempurna. Memang tidak ada foto Seruni di akun Gusti. Namun, akun Seruni isinya Gusti semua!

Raungan tangis Lian pun makin menjadi.

****

Gusti memandangi langit berbintang di balkon apato. Sebuah kegiatan klise yang dia sontek dari beberapa film Jepang dengan harapan kekalutannya terbawa angin malam. Hasilnya kosong, melamun di sana ternyata bikin otaknya tambah acakadut. Besok waktunya sidang tesis, tetapi Gusti belum ada minat untuk memfinalisasi power point presentasinya. Jalur pikirannya masih tersumbat oleh wajah Lian.

Selepas tertangkap basah oleh Lian, Gusti bukannya tidak melakukan apa-apa. Dia sudah mencoba menghubungi sahabatnya tetapi gagal. Nomornya keburu diblok. Sambil memandangi langit, dia memohon pada Tuhan agar menjatuhkan satu bintang yang konon katanya dapat mengabulkan permintaan apa pun. Gusti berdoa agar Tuhan menghapuskan ingatan Seruni dan Lian akan kejadian tadi. Bukankah dengan kuasa-Nya hal tersebut sangat mudah? Namun, bukan bintang yang jatuh melainkan Herman yang mencoleknya dari belakang.

"Mau, Gus?" Herman menawarkan sepiring pisang goreng hangat.

Gusti mencoba satu. "Hm, kok enak, Her? Gurih sama rasa asinnya pas."

"Enak kan? Soalnya ta' kasih micin yang banyak, Gus." Herman kemudian menggeser satu kursi dan duduk.

"Kowe masak pisang goreng pake micin? Wong edan."

"Enggak suka, Gus?"

"Suka."

"..."

Herman kemudian mencomot satu sebelum berkutat pada gawainya. "Gus, udah ta' kirim lokasi hotelnya Lian ke WA-mu ya."

Gusti berhenti mengunyah. "Kok kowe bisa tau?"

"Pacarmu sing galak itu nyuruh aku mbuntuti Mbak Lian. Enggak nyangka aku kalau Mbak Seruni nyeremin kayak gitu. Aku jadi mengerti penderitaanmu, Gus. Tapi sekarang yang penting, dirimu harus segera ketemu Mbak Lian."

"Besok habis sidang bakal ta' temuin. Sekarang kepalaku mumet."

"Aku ada puyer. Mau?" Herman menangkap secara harfiah.

"Kalo pisang goreng ini melayang ke matamu, rasanya gimana ya?"

"Kenapa toh orang-orang suka nganiaya aku? Tadi Mbak Mila mukul sakit banget. Dia mukul pake palu Thor apa ya? Lenganku masih biru lho," ricau Herman sambil mengudap. "Belum lagi Mbak Seruni. Ayu tapi psikopat. Masa dia ngancem mau mutilasi aku, Gus?"

Gusti tak bereaksi.

"Lagian yang bikin rusuh dirimu, aku yang kena sialnya. Padahal kan udah ta' wanti-wanti, Gus. Kalau ada apa-apa, aku enggak ikut-ikut."

"Kan aku enggak bisa ngontrol mereka, Her."

"Trus besok dirimu mau ngomong opo ke Mbak Lian?"

Gusti menyandar sembari menghela napas. "Enggak tau. Bingung aku."

"Dulu jawabanmu 'dipikir nanti aja', sekarang pas udah kejadian malah 'enggak tahu'. Piye toh, Gus? Ini menyangkut perasaan orang lho."

Kalimat Herman menohok dengan prima. Sangat tepat hingga Gusti tidak sanggup membalas. Dia benci Herman benar. Bukan, dia benci pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa.

"Menurutmu, aku kudu piye?" Kalau sudah bertanya pada Herman, artinya Gusti sudah mentok dan kepepet.

"Kalau aku jadi dirimu, Gus, ta' nikahi dua-duanya."

"Sakit." Berharap pada Herman ternyata merupakan kesia-siaan.

Herman tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang menguning karena kebanyakan minum kopi. "Tuh kan, dirimu ternyata bisa menilai kualitas suatu solusi. Artinya, jawabane ono nang atimu. Dirimu sing paham, Gus."

Gusti garuk-garuk kepala. Dia seperti diceramahi mbah-mbah Jawa. "Enggak semudah itu, Her."

"Apa yang dirimu takutkan kisanak?"

"Aku enggak siap kehilangan."

"Woo, dasar begundal egois," damprat Herman tanpa basa-basi. Gusti diam saja karena lagi-lagi sahabatnya benar. "Gus, ta' kasih tahu. Dengan kelakuanmu itu, dirimu jelas akan kehilangan. Bisa kehilangan salah satu atau dua-duanya. Bocah gemblung!"

Gusti menarik napas dalam seperti hendak menghabiskan seluruh cadangan oksigen bumi, kemudian diembuskan perlahan atas nama mencari kejernihan pikiran. Selain berpikir senyawa apa yang dikonsumsi Herman sehingga dia bertransformasi menjadi sufi, Gusti mulai mengulik hati kecilnya tentang apa yang sebenarnya dia cari.

Dan, gawainya bergetar. Seruni mengirim pesan.

'Besok habis Gusti sidang, Uni tunggu di kampus.'

****

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang