("Hanya sementara: Sebuah frasa yang niatnya mendamaikan hati, tapi siapa yang bisa memastikan kalau itu sementara?")
Gusti dan Lian berdiri di titik dua jam sebelum terpisahkan jarak, di pintu keberangkatan bandara, pintu yang tidak pernah bosan memaparkan kebahagiaan maupun kesedihan manusia. Orang tua Gusti sengaja memberi ruang kepada mereka untuk memanfaatkan sisa waktu bersama, dengan pergi sejenak ke minimarket bandara. Mau beli gunting kuku, katanya. Perkara level urgensi membeli gunting kuku di saat momen melepas anak pergi merantau ke luar negeri, Gusti tak ambil pusing.
Pria itu memandang sekeliling. Tangis dan tawa bersilangan melintasi penunjuk arah di dalam bangunan bertaraf internasional itu. Di sampingnya, Lian memandangi cintanya yang sedang menyeruput boba berkadar gula tinggi. Sepertinya manis, tapi tidak untuk Lian. Walau sementara, perpisahan kali ini rasanya asam, bahkan kadang bikin mual. Bagaimana tidak, dia bakal melepaskan dua orang sekaligus: sahabat dan prikitiw-nya.
Gusti yang sadar telah cukup lama menjadi objek tatapan kemudian mengucap, "Ganteng ya, Li?"
"Astaghfirullah." Lian mendadak ingat Tuhan.
"Nyebut loh dia kayak liat setan." Gusti mengacak rambut pendek Lian. Yang diacak rambut, yang rontok hati.
"Emang kamu enggak sedih, Gus?"
"Sedih? Enggak dong. Mau ketemu Gundam masa sedih sih?"
Lian muram. Gusti bergeser menghadap kemudian memegang dua bahu gadis itu. "Tapi yang jelas aku bakal rindu sih sama cewek yang hobinya ganti nama orang sak enak udele dewe*. Yang hobinya ngomel terus kayak emak-emak gagal COD."
Mereka pun saling lempar tawa. Sungguh, Lian bakal sangat merindukan nuansa seperti ini.
Gusti lalu melirik jam tangannya. "Li, kayaknya sebentar lagi."
"Iya..." Lian mendekat pelan. "Gus..."
"Ya?"
"Hmm, boleh peyuk?" ucap Lian secepat kilat menahan malu.
"Burung puyuh?"
"Peluuuuk!!!" refleks Lian dengan volume suara dua tingkat di atas normal. Hal tersebut sukses memancing tatapan mata warga sekitar. Wanita itu segera menyembunyikan muka hingga Gusti mendekapnya. Lian menyambut erat sampai denyut jantung pria itu terdengar. Degup itu akan dia rindukan. Tidak ada yang menyenangkan dari perpisahan, seberapa pun lamanya. Namun, mau bagaimana lagi, toh tidak ada yang mampu menghentikan waktu, seperti Lian yang tidak kuasa menahan air mata.
"Enggak apa-apa, Li. Cuma setahun kok." Gusti menyeka air mata Lian. Mencoba menenangkan.
"Gus..."
"Hm?"
"Tentang kemungkinan yang kita obrolin waktu di hypermarket." Semalaman Lian tidak bisa tidur gara-gara ini. Dia mengumpulkan sisa-sisa gengsi dan keberanian buat mengungkapkannya. "Aku... aku minta kamu pikirkin ya."
"Kemungkinan opo toh? Kemungkinan aku operasi plastik di Korea? Yah, memang deket sih sama Jepang. Tapi, enggak ah, Li, mahal."
Lian mengela napas.
Kamu ini bego atau pura-pura bego sih, Gus? Masa perlu ta' jelasin lagi sih? Kamu mau bikin aku malu sampai seberapa jauh lagi?
Walau kesal, gemas, dan malu berkumpul jadi satu, Lian sudah bertekad. Dirinya harus ngomong.
"Kemungkinan seperti Puan, Gus."
Mata Gusti sontak membelalak. Sadar membuat lawan bicaranya terkejut, Lian segera menata ulang kalimatnya. "Maksudnya bukan gitu. Kalau kayak Puan mungkin masih kejauhan ya. Maksudku, kemungkinan hubungan kita jadi lebih meningkat gitu lho, Gus. Dari sahabat jadi, yah... dua orang yang ngobrolin masa depan bareng. Yang... yang bareng-bareng ngobrolin masa depan. Duh, kamu ngerti toh maksudku?" Lian ribet sendiri. "Tapi ini santai aja ya, Gus. Bukan hal yang urgent kok. Mikirnya pas lagi senggang aja. Pas kamu lagi santai. Pas kamu lagi relaks."
"Kenapa aku malah ngebayangin nongkrong di WC ya?"
"Gus, please, kasih alasan kenapa aku enggak harus jedotin kepalamu ke mesin check-in itu? Sengaja ya ngerusak mental health-ku? Hah?"
Gusti terbahak. Lian tambah malu sepuluh kali lipat.
"Wis ah, lupain aja! Dasar jelek!"
"Okay."
"O-okay opo iki?"
"Akan aku pikirkan," tegas Gusti. Lian bernapas lega. "Tapi kamu jangan sedih ya. Walaupun kamu nyebeli**, aku enggak tega lihat kamu nangis."
Wajah Lian mendadak panas. Rasanya seperti ada segerombolan anak kumbang merah yang hinggap di pipinya, lalu bikin arisan di sana.
"Satu lagi, Gus." Lian mengambil gelang unik yang tersusun dari sejenis manik-manik besar berwarna dasar cokelat dari dalam tas, kemudian melingkarkannya ke pergelangan tangan kanan Gusti.
"Opo iki?"
"Gelang etnik, Gus. Terbuat dari kombinasi 24 jenis kayu langka. Opo 25 ya? Ah, emboh***! Intinya, aku mau kamu pakai. Ini gelang favoritku."
"Masa aku pake gelang cewek, Li?"
"Itu unisex kok."
"Kalau digosok keluar jin, enggak?"
"Joko, mulutmu ta' jahit lho."
Gusti tergelak. Melihat Lian kesal memberi kepuasan tersendiri.
"Thanks ya."
Lian mengangguk. "Kabarin kalau udah sampai."
Orang tua Gusti pun tiba. Tidak ditemukan gunting kuku di tangan mereka, melainkan sikat gigi. Gusti tak ingin mempertanyakannya dan membiarkan orang tuanya bahagia dengan apa pun yang mereka lakukan.
Setelah menyalami semua, Gusti berbalik pergi. Seribu doa dan harapan terucap dari mulut orang tuanya. Khusus Lian, dia diam-diam menambahkan doa agar Gusti selalu teringat padanya. Punggung sang pujaan makin menjauh, perlahan, kemudian menghilang bersama puluhan manusia yang membawa mimpi, suka, duka, dan tujuan masing-masing.
*********
Catatan kaki:
*Seenak udelnya sendiri
**Menyebalkan
***Enggak tau
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomanceGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...