("Puisi Andalan: Untaian kata-kata indah penuh makna, kalau yang nulis jago.")
Sleman, kelas 3 SMA
Waktu menggilas hari-hari Gusti hingga berada di penghujung SMA. Dalam konteks asmara, remaja itu masih aktif sebagai ketua komunitas cinta bertepuk sebelah tangan dengan berudu sebagai anggota. Tiga tahun menjalani SMA, status jomlonya masih sama. Bahkan tambah durjana. Lelah menjalani itu semua, Gusti akhirnya bertekad menyatakan perasaan lewat secarik puisi.
Saat ini, di kantin setelah pulang sekolah, pria chubby itu berhasil menggeret Lian untuk mengevaluasi buah karyanya. Lian tak pernah bisa menolak permintaan Gusti, bahkan untuk sesuatu yang benar-benar dibenci.
"Kenapa harus aku, sih?" Cewek mana yang tidak kesal ketika dipaksa gebetannya membahas puisi yang jelas-jelas bukan untuknya.
"Kamu kan wedok*, Li."
"Eh, maksudmu?"
"Ya, kan kamu bisa ngeraba kira-kira Seruni suka enggak sama puisiku. Gitu lho."
"Emang kalian udah sedekat apa?" Pertanyaan ini selalu terlontar dari mulut Lian ketika Gusti mulai berencana mengeskalasi hubungannya dengan Seruni. Cenderung meledek sebenarnya, sebab dia paham betul bawa Gusti dan Seruni belum apa-apa.
"Menurutku sih lumayan, Li. Inget enggak, dulu aku pernah satu kelompok tugas sama dia, dan dia kelihatan seneng banget."
"Masa sih?"
"Iya. Sambil senyum dia bilang,
Makasih ya, Gus. Semua tugasnya udah dikerjain."
Lian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tidak habis bikir betapa naif sahabatnya yang satu ini.
"Lumayan kan, Li?"
"IYA LUMAYAN BANGET! TUGAS KELOMPOK KAMU YANG KERJAIN!" sindir Lian penuh emosi. "Lagian itu kan cerita kelas satu, udah lama banget, Santoso!"
"Dih, ngegas."
"Trus kamu yakin bakal diterima?"
"Enggak sih."
"..."
"Tapi paling enggak, aku udah ngungkapin perasaan, Li. Ini bulan-bulan terakhir kita di SMA, aku enggak mau nyesel nantinya."
Gusti benar. Masa SMA bakal segera usai. Lian sendiri sudah tiga tahun duduk sebangku dengannya. Punya ayah berkoneksi ring satu memang jadi privilese. Dia melobi Kepala Sekolah untuk menyatukan Gusti-Lian dalam satu kelas selama tiga tahun. Kata seorang filsuf, cinta bakal datang karena terbiasa. Lian memercayainya..., dulu. Sekarang, Lian merasa filsuf itu sepertinya kebanyakan menghirup aroma nasi basi. Dalam tiga tahun, tidak ada tanda-tanda lepas dari zona teman yang menyebalkan. Lian malah terjebak di lubang yang sama dengan Gusti, lubang cinta tak berbalas.
"Mana coba aku lihat puisinya."
Gusti kemudian memberikan buah karyanya yang terbungkus amplop biru langit. Warna kesukaan Lian. Ironis memang.
Pipi Bolong
Jepang menjajah Indonesia
Sebelumnya kita dijajah Belanda
Wahai kamu yang ada di sana
Aku mau nanya
Banyak sekali wanita cantik
Tapi tak ada yang seperti kamu
Pipimu bolong tapi antik
Bolehkah kau jadi milikku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
DragosteGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...