Bab 25: Rencana Lian

65 7 2
                                    

Orang boleh berencana, tapi Tuhan yang menggagalkan

Kedai Kopi Gondosuli buka pukul sepuluh pagi, tetapi Lian—sang pemilik—telah hadir satu jam sebelumnya untuk menyiapkan segalanya. Berkutat dengan bisnis setidaknya bisa sedikit mengisi kosongnya hati gara-gara Gusti. Mencintai seseorang ternyata benar-benar menguras energi. Terlebih jika orang itu kayaknya tidak suka-suka amat. Sambil mengelap mejanya dengan tisu, Lian melamun. Rasanya, dia ingin meminjam alat pemercepat waktu milik Doraemon, biar waktu cepat berlalu dan besok Gusti sudah ada di hadapannya lagi. Detik berjalan, lamunan makin menenggelamkannya sampai-sampai dia tidak sadar bahwa Riska sudah berdiri di depan pintu.

"Li..," Enggak ada respons dari Lian. Dia masih berdiri mematung, melamun dengan pandangan kosong dan tisu di tangan.

"Lian! Halo!"

"Eh, Ris." Lamunan Lian pecah. "Udah lama?"

"Menurutmu?" Riska melangkah masuk lalu duduk di depan meja Lian. "Ngelamun terus. Gara-gara si Gusti ya?" tebak Riska akurat.

Lian menghempaskan tubuh ke kursinya bersamaan dengan helaan napas. "Rasanya kayak kejebak di lumpur hisap, ngerti ora, Ris. Lama-lama aku tenggelam."

"Udah ta' duga kamu ada masalah sama dia. Pantes frekuensimu nelpon Gusti menurun drastis. Dulu kamu bisa sampai tiga jam ngobrol ngalor ngidul ama dia. Tiga jam, kalau ditambah nyanyi sambil muterin pohon udah bisa jadi film India."

"Semprul." Lian lalu mendengus. "Ngerti ora Ris apa yang ada di kepalaku? Aku pengin nyusul dia. Gendeng ya?"

"Duit ada?"

"Tabungan sih cukup, Ris."

"Lha, terus?"

Lian mengedik sebelum menjawab, "Aku takut ganggu dia. Ntar dia sebel, piye? Nanti dia jadi benci sama aku, piye? Terus kalau ternyata dia pacaran sama cewek Jepang, piye? Terus mereka menikah, punya lima anak, hidup bahagia. Piye?"

Riska menepuk dahinya. Gara-gara Gusti, tingkat kecerdasan koleganya itu jadi menurun setengah. "Dirimu kenapa hei? Childish banget."

"Kamu enggak pernah jatuh cinta sih."

"Pernah. Tapi, aku enggak goblok."

"Oke, kamu ta' pecat."

"Ayu banget sih, Li, hari ini." Setelah menggombal, Riska menatap Lian dengan serius. "Kalau kamu mau berangkat, berangkat wae. Ngapain sih mikir hal-hal yang belum tentu kejadian? Lagian kalian kan udah temenan dari zaman revolusi industri, mana mungkin dia enggak hepi liat kamu bela-belain dating ke sana?"

"Gitu ya?" Keinginan menyusul Gusti memang makin kuat dari hari ke hari, walaupun berbagai ketakutan selalu sukses menahannya. Namun, komentar Riska barusan seperti memberinya lampu hijau, menguatkannya.

"Ah, sekalian aja ta' kasih kejutan ulang tahun ke si Gusti!" sahut Lian. Dia ingat bulan Juli nanti Gusti bakal berulang tahun. "Eh, tapi kafe piye?"

"Kamu itu kebanyakan piye!" ledek Riska. "Kafe ini enggak bakal bangkrut kok kalau kamu tinggal sebentar. Aku yang handle! Sekalian ta' bantu cariin tiket dan hotel. Dirimu tinggal bayar. Puas?"

"Enggak salah aku ngerekrut pegawai multilevel marketing kayak kamu, Ris."

"Multitalenta! Naikin aja gajiku, Bos!" timpal Riska. "Perlu ta' cariin jamu tahan lama juga, enggak? Buat bekel, ehehe...."

"Riskaaa, pikiranmuuu!"

Setelah memberi saran kepada Riska untuk melakukan pembersihan pikiran secara berkala, semangat Lian mulai bangkit kembali. Kalau lancar, sebulan lagi, dia bakal bertemu dengan laki-laki yang memporakporandakan pikirannya. Sahabat jadi cinta yang dirindukan setengah mati. Laki-laki yang tanpa diketahui telah menjalin hubungan dengan wanita lain.

****

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang