(Mencoba membangun rumah dari puing-puing yang berceceran adalah hal yang sulit, tetapi belum tentu mustahil)
Kedai Kopi Gondosuli sudah buka dan Gusti menjadi pelanggan pertama. Dari tempat duduknya, dia bisa mendengar suara pembawa berita dari televisi yang tengah menyajikan informasi tentang ditemukannya spesies ular baru di hutan Amazon. Namun, Gusti tak ambil pusing karena untuk apa peduli dengan ular? Gusti lebih peduli dengan keinginannya bertemu Lian.
Dia memandang sekeliling. Dari sisi interior, tidak banyak yang berubah dari setahun yang lalu. Poster-poster kayu berisi kutipan kata mutiara dari tokoh-tokoh dunia masih mendominasi. Di beberapa sudut, terdapat rak tempel dinding dengan berbagai stoples berisi kopi. Dan, mata Gusti jatuh pada satu poster yang membawanya ke dalam satu kenangan. Poster itu bertuliskan:
'BAGAI MUSANG BERBULU DOMBA'
Kala itu, Gusti dan Lian setidaknya menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk berdebat.
"Li, kita sekarang ada di zaman revolusi digital. Disrupsi teknologi. Dengan gesekin kelingking di layar HP, kita udah bisa beli mobil. Masa masih bagai musang berbulu domba?" Gusti berargumen bahwa peribahasa hanya cocok pada zaman penjajahan Belanda.
"Justru itu menariknya, Kirun," sanggah Lian. "Peribahasa itu klasik, otentik, Indonesia punya. Artinya juga dalem, orang yang keliatannya baik tapi aslinya jahat."
"Wuiih, daleeem." Gusti sarkas. "Tapi apa relevansinya dengan kedai kopi?"
"Ini kafe siapa?"
"Iya deh. Ini kafemu. Suka-suka kamu. Mau dibakar, bangun lagi, bakar lagi, bangun lagi sampe Indonesia turun salju juga terserah."
Bayangan Lian tertawa meletup-letup di ingatan Gusti. Dulu Gusti mendengus kesal mendengarnya. Kini, sekelumit senyum muncul saat mengingat kenangan itu.
Bagai musang berbulu domba. Jangan-jangan itu sindiran untuk Gusti? Jangan-jangan Lian itu cenayang yang berfirasat bahwa Gusti akan mengkhianatinya? Entahlah. Yang jelas, kini Gusti ingin bersujud memohon ampun di telapak kaki Lian.
"Mau apa kamu ke sini?" Riska datang dengan ekspresi ingin memukul sesuatu.
"Jangan galak-galak sama tamu, Ris. Baru kemarin aku balik dari Jepang."
"Kalau tamunya kowe, aku kudu galak!" Riska lalu meletakkan daftar menu ke meja Gusti. "Pesan opo?"
Gusti membuka-buka menu, tapi isi kepalanya di tempat lain. "Hm, Lian belum datang ya?"
"Masih peduli, toh?"
Gusti menutup daftar menu, kemudian menanggapinya. "Aku ngerti kamu kesel ama aku, Ris. Maaf, aku memang salah. Tapi please, niatku ke sini murni mau menyelesaikan masalah dengan dia."
Riska menghela napas. "Lian wis enggak di sini lagi."
"Maksudnya?"
Riska kemudian bercerita bahwa sebulan yang lalu Lian pamit. Perkara manajemen dan kendali operasional diserahkan sepenuhnya pada Riska. Sederhananya, saat ini Riska berperan sebagai CEO Gondosuli, sementara Lian tetap berstatus pemilik.
"Dia ke mana, Ris?" potong Gusti.
"Bukan urusanmu."
Sekuat tenaga Gusti menahan emosi ketika mendengar jawaban Riska. "Jangan gitu dong, Ris. Nomor kontak barunya, deh. Aku cuma mau minta maaf ke dia."
Tidak hanya memblokir nomor Gusti, Lian juga membuang nomor lamanya. Gusti mencoba menjangkau Lian dengan mengirimkan email. Namun, tak satu pun ada balasan. Dan, ketika melihat respons Riska yang lebih menakutkan daripada kecoa terbang, Gusti semakin yakin bahwa dia benar-benar disingkirkan dari hidup Lian.
"Asal kamu tahu, Gus. Sebelum ke Jepang, dia adalah wanita paling bahagia sedunia. Dan gara-gara dirimu, dia berubah jadi zombi. Jadi, kamu bisa ngukur seberapa besar dosamu ke dia," berang Riska sambil menunjuk hidung Gusti." Jadi, kalau kamu ke sini enggak ada niat ngopi, mending cabut deh, sebelum ta' panggil sekuriti!
"Please, Ris..."
"Sekuriti!!"
"Iya-iyaa..." Takut dipentung, Gusti segera menyingkir. Dia melangkah cepat ingin segera sampai ke motornya yang diparkir sekenanya. Sesampainya di sana, Gusti tersadar: Kafe Gondosuli kan enggak punya satpam?
Riska kupret!
Dia mendengus panjang, seraya menelan perkataan Riska yang sepenuhnya benar, Memang Gustilah yang patut divonis atas apa yang terjadi pada Lian. Timbunan rasa bersalahnya makin melangit, tapi itu juga yang bikin hasrat menemui Lian makin menjadi. Gusti menyalakan mesin motor. Setidaknya, masih ada satu tempat yang bisa memberi jawaban keberadaan sahabatnya itu. Dia akan ke sana nanti sore.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomanceGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...