Bab 29: Harusnya

80 6 0
                                    

(Penyesalan selalu datang belakangan, karena kalau di depan, namanya jadi pekarangan.)


"KOK LO ENGGAK BILANG SIH?" Mila menampar bahu Herman berkali-kali, sekuat tenaga.

"Ampun, Mbak! Sakit. Mbok ya mukulnya jangan pakai tenaga dalam. Lagian aku harus bilang gimana?" keluh Herman meringis menahan sakit sambil mengelus bahu yang panas seperti habis dipanggang.

"Uni itu temen gue, Her!"

"Duh, kok jadi aku yang disalahin toh, Mbak? Aku juga udah bilang ke Gusti, jangan main api. Tapi dianya ngeyel, trus aku kudu piye?"

"Ck. Kampret emang si Gusti! Kalo orangnya muncul nih, gue jadiin kambing guling terus gue bagi-bagiin ke fakir miskin!" Mila mendidih.

"Hm, gimana, Mbak?" Herman menangkap kejanggalan.

"DIEM LO!"

Tak ada lagi yang bercakap kemudian. Semua menerawang.

****

Duh, Gusti!

Tubuh Lian gemetar. Asam lambungnya berkecamuk, mual. Akhir cerita yang dia idam-idamkan, di mana sang pangeran berhasil menyelamatkannya dari penyihir jahat bernama kerinduan, musnah tanpa tersisa. Pangeran itu membohonginya dengan harapan semu. Genggaman tangan gadis malang itu makin lemah, membuat bingkisan yang dia bawa jatuh bersama hatinya.

~brukk~

Suaranya merembet cepat ke telinga Gusti, hingga membuatnya terkesiap. Refleks, dia menggeser tubuhnya sehingga kepala Seruni hampir kehilangan keseimbangan.

"Eh, Lian ya?" Panggilan itu bukan keluar dari mulut Gusti melainkan Seruni yang ikut sadar akan kehadiran Lian. Sementara itu, Gusti masih melongo beloon.

Lian ingat wanita yang ada di hadapannya itu. Tidak, bahkan sangat mengenalinya. Bagaimana mungkin dia lupa dengan seorang wanita yang menyesaki pikirannya di masa lalu? Seseorang yang Gusti sebut namanya setiap saat, yang bikin Lian stres dari hari ke hari. Dan, sekarang wajah itu terpampang nyata di depannya. Lagi.

Seruni merasa ada yang tak beres. Dia menatap wajah pacarnya yang masih tercenung. Fixed, ada sesuatu di antara pacarnya dan wanita itu. Dengan perlahan Seruni melangkah mendekati Lian. Dalam kecanggungan, dia mencoba menyambut teman lamanya itu. Ketidakberesan makin terasa ketika Lian bersikap tak acuh, melewatinya tanpa sedikit pun memandang wajah Seruni.

"Selamat ulang tahun ya, Gus." Suara Lian bergetar seraya memberikan hadiahnya untuk Gusti.

Lian menatap Gusti yang tak kuasa menjawab. Tubuh pria itu beralih fungsi menjadi berhala. Wanita itu kemudian mengalihkan pandangan ke pergelangan tangan Gusti. Kosong, tidak ada gelang etnik yang dia berikan sewaktu berpisah dulu. Lian mengangguk paham, lalu menatap tajam kembali mata Gusti.

"Semoga kamu bahagia, Gus," ucap Lian sebelum berlari meninggalkan Gusti dan semua kenangan yang menyertai. Air matanya jatuh ke tanah bumi.

Pada penjuru yang lain, Seruni mencoba memahami apa yang dilihat. Bukan suatu hal yang menyenangkan, bahkan dia takut bahwa kesimpulan di benaknya adalah kebenaran. Cuma satu orang yang bisa memastikan.

"Gusti, ada apa ini?"

Gusti bergeming. Tatapannya masih kosong seperti berada di alam lain.

"GUSTI!" kali ini Seruni mengguncangnya. Gusti terkesiap lalu menunduk, tidak berani menentang Seruni.

"Kamu ada hubungan apa dengan Lian?"

Gusti masih menunduk. Tidak siap.

"GUSTI JAWAB!" Seruni meninggi. Mengguncangkan Gusti lebih kuat lagi.

"Lian..." Gusti menarik napas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Lian itu sahabatku, Ni."

"Sahabat? Really?" Dengan reaksi Lian, Seruni menyangsikan jawaban pacarnya.

"Aku...," Gusti menarik napas sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan, "Mungkin aku salah udah ngasih harapan ke dia."

~plak~

Seruni menampar dengan seluruh kemarahannya, tanpa membiarkan Gusti melanjutkan kalimat.

"Kamu tuh jahat, Gus!"

Tamparan Seruni memang memang panas. Tapi kata-kata terakhirnya jauh lebih pedih. Kalimat itu terngiang hingga berulang-ulang bahkan setelah Seruni berlalu meninggalkannya. Gusti tak melawan karena sadar tamparan dan cacian tidaklah cukup untuk menghukum kebodohannya.

Duh, Gusti!

****

"Wah pasti terjadi perang dunia, Mbak," ucap Herman melihat Seruni berjalan cepat ke arahnya dengan memasang muka masam.

"Oh, lo baru sadar sekarang?" bentak Mila sarkas.

Setibanya, Seruni langsung mendaprat Herman.

"Mas Herman, temen lo tuh brengsek! Lo pasti udah tau sebelumnya kan?" Murka membuat 'lo-gue' Seruni muncul.

Herman kuyu. Hari ini semua organisme di muka bumi ini seperti menyalahkannya.

"Duh, aku lagi yang disalahin. Aku enggak ikut-ikut lho, Mbak."

"Enggak bisa! Elo temennya tapi diem aja! Sekarang Lian mana?"

"Udah lewat dua menitan yang lalu, Un," alih Mila spesifik. "Kasian dia. Kayaknya dia depresi banget, mungkin dia akan mengurung diri sebulan, enggak makan, enggak minum sampe anoreksia," tambahnya dengan memberi bumbu dramatis plus hiperbolik sembari melirik sinis ke arah Herman.

Seruni mendengus kencang. "Dua menit yang lalu harusnya belom jauh. Mas, sekarang lo kejar dia, ikutin dia, cari tau dia nginep di mana!"

"Ka-kalo aku gagal piye, Mbak Seruni?"

"Kaki lo gue cincang, gue jadiin pakan merpati!"

"Merpati kan makan biji-bijian, Mbak?"

"Bodo amat! BURUAN!" bentak Seruni.

Herman langsung terbirit. Seruni ternyata jauh lebih mengerikan daripada Mila. Mungkin kalau dua wanita itu bergabung dan mengeluarkan potensi terbaiknya, mereka bisa menjadi anggota Avengers.

Seruni menginjak-injak tanah dengan kesal. Dirinya tak menyangka harus menerima kepahitan cinta kembali. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Mila coba mendamaikan.

****

Hari menggelap dan Gusti masih di atas rooftop. Dia memegang kado dari Lian bersama dengan tumpukan rasa bersalah. Satu set Gundam Barbatos varian metal build, seri Gunpla berbahan metal yang jika dirupiahkan ada di angka dua hingga tiga juta rupiah. Harganya bikin pria itu bergidik. Tetapi yang lebih menyakitkan, hadiah itu menunjukkan bahwa hanya Lian yang mengerti dirinya. Dia jadi membenci diri sendiri. Kejadian ini bikin Gusti terpental dengan telak.

Gusti menyesal. Dia ingin kembali ke masa lalu untuk mengubah keputusannya. Tapi keputusan yang mana? Keputusan benar-benar menyerah akan Seruni sebagaimana disarankan Lian, atau keputusan menerima perasaan Lian? Bahkan saat berandai pun Gusti tak bisa memutuskan. Dia lalu mengambil gelang etnik pemberian Lian dari dalam tasnya. Dipandanginya benda itu, diputar-putarnya. Harusnya benda itu selalu ada di tangannya.

Harusnya.

****

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang