Bab 10: Bersapa di Udara

83 10 0
                                    

("Bersapa di Udara: Cinta tidak pernah ada urusannya dengan jarak yang membentang selama masih ada udara dan.... sambungan internet")


Pukul 20.15 waktu Tokyo. Jempol Gusti hampir ledes gara-gara kebanyakan menggulir layar gawai, menyelami foto-foto di akun Instagram Seruni, sesuatu yang rutin dia lakukan beberapa tahun belakangan. Tidak percaya diri adalah alasan mengapa dirinya menciptakan akun palsu untuk melakukannya. Dari akun palsu itu, dia bisa mengirim love pada setiap postingan Seruni, sekaligus mengetahui apa pun tentang idolanya tanpa takut identitasnya terbongkar. Pekerjaan, tempat tinggal, hobi, status romansa, semua terpampang nyata di sana. Pernah suatu saat Seruni menghujani Instagram-nya dengan foto-foto keseruan bersama seorang laki-laki. Gusti yakin itu pacarnya. Beberapa bulan kemudian, foto-foto itu menghilang. Gusti yakin mereka sudah putus.

Ritualnya terhenti ketika mendadak layar ponselnya menampilkan foto Lian. Sambungan video call masuk.

"Ripto, lama banget ngangkatnya? Pasti lagi melakukan kegiatan tidak senonoh?"

"Pikiranmu!"

Tawa Lian terbit tanpa lupa mempertontonkan gingsulnya. "Hari ini ospek ya, Gus? Ospek di sana dibentak-bentak senior ora? Disuruh pakai topi lucu ora? Ada mas-mas senior yang bilang

Dik, Sabtu nanti nonton lampu di bukit bintang yuk!

ono ora*, Gus?"


"Itu kan kisah sedihmu. Ini Jepang, Sist. Negara maju."

Lian mencebik. "Yawis, piye Jepang-mu?"

Gusti lalu bercerita tentang hasil observasi yang telah dilakukan sejauh ini, persis dengan topik bahasan bersama Herman tadi pagi. Dan tentunya, topik toilet canggih tidak ketinggalan.

"Warsito, dari seluruh keindahan Jepang yang bisa mbok ceritain, kenapa milih kloset sih?"

"Aku cari topik yang relatable sama kamu, Li."

"Woo, gembel!"

Gusti tertawa puas. Lian misuh-misuh sebal, tapi kangen.

"Gus, kalau kamu lagi jalan-jalan terus ketemu spot-spot sing apik, boleh enggak video call aku? Aku yo pengin ikutan, Gus."

"Siap. Nanti kalau aku ketemu toilet yang bagus, kamu langsung ta' kabarin."

"Gus, mau ta' kirimi santet?"

"..."

"Maksudku itu sakura, salju, Gunung Fuji, atau apa aja yang penting keren. Aku pengin liat juga," rengek Lian.

Mendengarnya, Gusti tak langsung menjawab. Sejatinya, dia berencana melalui objek-objek ikonik itu dengan Seruni. Rasanya mustahil melakukan pendekatan sembari ber-video call dengan orang lain.

"Gus?" colek Lian lagi.

"Eh, oke-oke, Li." Gusti yang tergemap refleks mengiakan.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan. Dia menoleh dan mengucap sumpah serapah ketika mendapati kepala Herman yang udah menyembul dari sela-sela pintu.

"Asem, ta' kira jin tomang. Sejak kapan di situ?"

"Sejak kalian ngomongin jamban," ucap Herman santai sambil melangkah masuk. Melihat wajah Lian di layar ponsel Gusti, dia urun menyapa.

"Eh, Mbak Lian."

"Hai, Her. Gimana progres misimu memperistri pribumi Jepang?"

"Kayaknya aku kudu memperlebar spektrum, Mbak. Tadi aku kenalan sama mahasiswi Vietnam, ayu tenan."

"Terus gimana responsnya?"

"Langsung minggat sih. Tapi, aku yakin dia malu karena mendadak jatuh cinta."

"Salut aku sama kepercayaan dirimu, Her."

"Mbak Lian, di sana udah jam 10an ya? Jangan kerja terus, Mbak, nanti tau-tau sakit kuning lho."

Gusti berdeham. "Wis, kalian ngobrol berdua aja deh!"

"Halah, cemburu! Aku enggak lama kok, cuma mau pinjem gunting kukumu, Gus."

Mendengar celetukan Herman, Lian merasa berbunga-bunga. Cemburu? Kayaknya Gusti emang cemburu deh.

Gusti kemudian memberikan gunting kuku dari lacinya.

"Oya, Mbak. Tadi kita ketemu temen Indonesia, katanya pernah satu SMA sam—"

"HER!" potong Gusti cepat dan keras. Herman terperanjat. "Ini gunting kukunya, ndang minggat**!"

"Sa-santai, Gus."

Herman menyingkir sambil bertanya-tanya, mengapa perkara gunting kuku, Gusti berubah jadi serigala seperti itu?

*******


Catatan kaki:

*)Ada enggak

**)Buruan keluar

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang