Bab 6: Orientasi

132 12 0
                                    

("Orientasi: Program pengenalan lingkungan kampus yang tak jarang menghasilkan bibit-bibit asmara")


Pagi itu, Gusti dan Herman berdiri di Stasiun Hagiyama bersama terik sisa-sisa musim panas bulan September. Mereka akan menjalani rute Hagiyama-Ikebukuro menuju kampus dengan percaya diri setelah berlatih bersama Shimizu-san kemarin. Khusus Herman, walau belum mengetahui seratus persen seluk beluk lingkungan tempat tinggal, dia telah mendapatkan pengetahuan baru tentang kultur penduduk lokal. Kemarin, ketika sore menjelang, sepulang membeli kudapan dari mini market sebelah apato, Herman mendapati masyarakat sekitar—didominasi oleh orang tua—mengajak anjingnya jalan-jalan.

"Terus, Gus, aku lihat kakek itu tiba-tiba jongkok ngambil sesuatu di jalan. Penasaran, ta' deketin aja. Ngerti ora dia ngapain? Dia ngambil nganu anjingnya pakai plastik, Gus!" ucap Herman setelah menemukan keajaiban dunia baru.

"Nganu opo toh?"

"Itu lho, Gus." Herman lantas mengeluarkan gestur mengibas-kibaskan tangan di belakang pantatnya.

Gusti paham lalu mengucap, "Itulah kenapa negara ini bersih banget, Her. Semua orang bertanggung jawab atas sampahnya masing-masing."

"Bukannya malah aneh yo, Gus? Berarti kakek itu jalan-jalan sambil bawa pup guguk?"

"..."

Pembicaraan beranjak ke studi komparasi Jepang versus Indonesia. Gusti dengan semangat membandingkan hal-hal besar seperti kondisi jalan, tingkat kebersihan, kualitas pelayanan publik, hingga hal kecil seperti kloset apato mereka yang penuh tombol berteknologi tinggi. Salah satu fitur menakjubkan adalah tombol kamuflase suara. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk tipe apato yang memiliki fasilitas kamar mandi bersama. Tepat saat tombol tersebut ditekan, suara kucuran air akan terdengar dan alhasil sukses menutupi suara rudal yang Gusti keluarkan.

"Setuju, Gus. Canggih banget itu. Aku bisa merenung di kloset tanpa ganggu penumpang sebelah. Tapi aku penasaran, kira-kira suara kucuran airnya bisa diganti enggak ya?"

"Diganti sama opo?"

"Suara kuntilanak ketawa. Biar greget."

"..."

Otak Gusti sontak membayangkan bagaimana buang hajat bisa begitu mencekam dengan munculnya lengkingan tawa semacam itu.

"Mamonaku, ichiban sen ni Shinjuku hōmen iki ga mairimasu."

(Sesaat lagi, kereta menuju Shinjuku akan masuk di jalur satu)

Suara merdu announcer berkumandang, memutus obrolan kurang bermutu mereka. Suaranya lembut, bikin Gusti dan Herman makin bersemangat. Mereka bergegas masuk sesaat setelah kereta Seibu-Shinjuku berhenti. Seorang remaja berdiri mempersilakan Herman duduk sebagai bentuk kesopanan terhadap orang tua sebagaimana telah diwariskan oleh para leluhur.

"Daijoubu*," tolak Herman dengan sepotong kosakata Jepang yang semalam dia dapatkan dari kanal youtube Jerome Polin, sembari menyimpan pilunya berwajah boros. Dirinya dan Gusti harus berdiri sebab seluruh tempat duduk penuh terisi.

Untuk sampai ke tujuan akhir, dua lajang senior itu harus transit di Stasiun Takadanobaba, lalu berpindah ke peron Yamanote Line menuju Stasiun Ikebukuro. Total waktu tempuh sekitar 40 menit dan sepertinya bakal terasa lama karena Gusti dan Herman tidak bisa mengisi waktu dengan mengobrol. Suasana kereta benar-benar sunyi. Semua orang menunduk melihat layar gawai. Tak ada penumpang yang merumpi, mendengarkan musik tanpa headset, atau bertukar bekal makanan seperti yang biasa ada di perjalanan KRL Yogyakarta-Solo. Namun, komitmen untuk tetap diam hanya bertahan sepuluh menit setelah tiba-tiba Gusti menyentuh alis kirinya hingga menyenggol lengan Herman.

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang