"Ungkapan hati penuh harap yang menjadi titik batas antara cinta dan bukan siapa-siapa"
Gusti melangkah menuju stasiun Ikebukuro. Hari sudah malam dan obrolan bersama Lian masih terpapar di kepala. Gusti merasa tidak benar, baik kepada Lian maupun Seruni. Dia sadar, mengambil sikap adalah sesuatu yang absolut. Akan tetapi, bagaimana caranya? Lagi-lagi tadi dia menggantung Lian dengan "Boleh aku pikir dulu?".
Berpikir terlalu berat ternyata bikin Gusti lapar. Dia berhenti di gerai taiyaki, kue khas Jepang berbentuk ikan dengan isian kacang merah atau varian rasa lain. Dari segi nama mungkin terdengar aneh bagi warga negara Indonesia, tetapi secara rasa taiyaki adalah juara. Mengapa bentuknya ikan, Gusti tidak ambil pusing. Pria berkacamata itu masih memilih varian rasa.
Bahkan untuk memutuskan rasa taiyaki, dia membutuhkan waktu yang lama. Apa kabar dengan pengambilan keputusan yang melibatkan perasaan orang? Dia jadi berkaca pada hidupnya. Lian begitu masif mengisi hari-harinya. Bahkan, hampir seluruh keputusan hidup Gusti tiada lepas dari campur tangan sahabatnya itu. Dari hal besar seperti memilih jurusan kuliah, jalur karier, hingga hal sepele seperti model rambut dan warna kemeja, ada andil Lian di dalamnya. Gusti menangkap satu hal pasti, dia begitu bergantung pada Lian. Lalu, apakah berarti dia harus melepaskan Seruni?
****
Keputusan Gusti
Bersama dengan satu bungkus taiyaki berbagai rasa, Gusti tiba di apato Seruni. Gadis itu terlihat mulai pulih, warna wajahnya segar. Terlebih, ketika menyambut kedatangan Gusti, senyumnya terburai habis-habisan. Wanita berlesung pipi itu tidak pernah sembarangan mengizinkan lelaki masuk ke kamarnya, kecuali yang dia percaya. Di sisi lain, Gusti juga cukup waras untuk tidak melewati batas.
"Wah, taiyaki! Makasih ya, Gus. Tahu enggak, taiyaki ini kue favorit Uni. Memang banyak kue lain yang lebih enak dari taiyaki. Tapi taiyaki ini lucu, bentuknya ikan, rasanya manis. Uni suka taiyaki."
Gusti menyadarkan Seruni bahwa dia terlalu banyak menyebut taiyaki, dan kesan yang ditimbulkan enggak begitu enak. Satu kali saja cukup.
"Udah baikan, Ni?"
"Alhamdulillah, Gus. Berkat kamu juga."
Hening bin canggung datang dalam sekian detik, sebelum mereka saling memanggil nama. Berbarengan.
"Kamu dulu deh, Ni."
"Mumpung Gusti di sini, Uni mau ngungkapin sesuatu." Masih ada sisa-sisa canggung di raut wajah Seruni. Gusti mendeteksi tingkat keseriusan topik kali ini. "Uni udah mikir tentang hal ini."
"Mi-mikir apa yah?"
Seruni menarik napas dalam. "Sejak kedatangan kamu, dari hari ke hari, Uni ngerasa nyaman di dekat Gusti."
Gusti melongo antara percaya tak percaya, seperti baru menang lotre yang hadiahnya mampu menghidupi tiga generasi. Dia tidak nyangka hal itu keluar dari mulut Seruni.
"Sebelumnya, Uni punya pengalaman buruk tentang hubungan. Dari dulu, hubungan cinta Uni enggak pernah beres. Hal itu bikin Uni rehat dari urusan relationship."
"..."
Gusti tercenung. Seruni belum pernah menceritakan kisah yang ini.
"Uni sadar, satu-satunya cara untuk keluar dari sakit hati ini adalah dengan membuka hati lagi. Ini sakit hati Uni, jadi Uni yang ambil inisiatif. Kayaknya Uni udah siap untuk nyoba lagi. Dan itu sama kamu, Gus."
Gusti menelan ludah. Matanya masih belum lepas dari mata Seruni.
"Kaget ya, Gus?" Seruni tersenyum. Butuh keberaniaan bagi gadis itu untuk mengungkapkan perasaannya dan dia melakukannya dengan tenang.
"Mungkin Gusti mikir kalau Uni hanya nyari pelarian. Bisa jadi, sih. Kalaupun memang pelarian, Uni cuma mau berlari dengan orang yang Uni percaya, yang bikin Uni nyaman. Gusti juga lagi sendiri, enggak ada komitmen dengan cewek lain. Itu yang bikin Uni berani ngomong ini."
Sebelum tiba di apato Seruni, Gusti sempat mempertimbangkan untuk melepasnya dan memilih menerima perasaan Lian. Bahkan, dia sudah menata kata-kata.
Uni percaya Gusti.
Kalimat itu ibarat bola bekel yang memantul-mantul di otaknya, kemudian berubah menjadi tombak yang menusuk tepat di jantung Gusti. Berkali-kali. Sebuah kejadian yang jauh di luar prediksi Gusti, bahkan nalarnya masih sulit untuk mencerna itu semua.
"Kalau Gusti butuh waktu untuk mikir, enggak apa-apa, Gus. Atau kalau Gusti enggak mau nyoba juga enggak apa-apa. Uni sepenuhnya paham dan kita bisa jadi teman seperti biasa."
Gusti bisa menangkap bahwa Seruni telah menyiapkan ini semua; dari sisi emosi maupun logika. Memori masa lalu kembali menerobos pikiran pria bimbang itu. Bayangan Lian mengisi hari-harinya diseruduk dengan gemilang oleh ingatan tentang bagaimana dia mengamati, menyukai, dan memimpikan Seruni. Dan, kini dia dihadapkan sebuah fakta bahwa pungguk tidak lagi merindukan bulan. Pungguk bisa memiliki bulan.
"Tau enggak, Ni?"
"Enggak."
"Yee, belom."
"Kamu itu cinta monyetku, Ni. Bahkan bukan cinta monyet lagi sih, udah berkembang jadi gorila."
Hei, bukankah itu kalimat Lian?
Gusti tak peduli.
"Dari dulu."
Seruni menutup mulutnya yang menganga. Terkesiap.
Gusti mengangguk sembari membenarkan letak kacamatanya yang melorot. "Dulu, Aku cuma mimpi bisa deket sama kamu. Bisa papasan sambil saling lempar senyum aja udah bikin aku koprol, Ni."
Bola mata Seruni makin membesar.
"Tahu enggak siapa yang ngirim surat tanpa nama di laci kamu pas SMA?"
"Kamu, Gus? Puisi yang jelek itu?"
"I-iya. Tapi ngomong jeleknya enggak usah pake semangat gitu."
Lesung pipi kiri Seruni beraksi.
"Terus, tahu enggak yang ngasih bunga mawar di meja kamu pagi-pagi?"
"Wow. Itu dari kamu juga, Gus?"
"Bukan. Itu dari Samsul, pacar kamu. Piye toh?" Gusti cengengesan. Candanya berbuah cubitan gemas dari Seruni.
"Jadi, Gus, kamu mau nyoba?"
Gusti mengiakan. Dia paham telah mengambil keputusan di kala otaknya tidak terlalu jernih. Dia paham, sebagaimana dia juga paham bahwa rasa itu masih ada untuk Seruni. Gusti idak tahu, dia tidak peduli apa yang akan terjadi kelak. Urusan nanti akan biarkan Gusti versi masa depan yang menghadapi. Karena sekarang, yang hanya dia inginkan adalah menggenggam tangan Seruni.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomanceGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...